Ini adalah salah satu teori tentang sejarah geologi daerah Bandung dan sekitarnya, seperti dipaparkan oleh Haryoto Kunto di bukunya ‘Wajah Bandoeng Tempo Doeloe’ (1984). Saya sendiri pernah mengikuti diskusi di sebuah komunitas bernama ‘Kelompok Riset Cekungan Bandung’ (KRCB), sebuah komunitas Geolog dan non-Geolog yang selalu melakukan riset tentang geologi kota Bandung dan juga melakukan berbagai aktifitas dalam kerangka pelestarian sumber daya dan kemaslahatan kota Bandung.
Ternyata menurut beberpa geolog yang hadir di sana, teori yang dipaparkan Haryoto Kunto ini bukan satu-satunya teori tentang pembentukkan dataran Bandung. Tetapi guna sarana belajar, biar kita upload satu demi satu dahulu di Blog-nya Mahanagari ini, dimulai dengan teori dari buku wajah Bandoeng Tempo Doeloe ini.
Berikut cerita pak Kunto:
Ceritanya panjang sekali, sebab kita musti balik kembali ke masa silam, 20 ‑ 15 juta tahun yang Ialu, tatkala dataran tinggi Bandung niasih terletak di dasar lautan. Pada waktu itu, pulau Jawa sebelah Utara masih merupakan samudera. Hanya bagian Selatannya saja yang berujud tanah dataran dengan pesisirnya tak jauh di sebelah Selatan Pengalengan sekarang. Beberapa pulau volkanik terdapat di depan pantai itu.
Sisa lapisan ‑ lapisan yang diendapkan 20 juta tahun yang Ialu, kini masih bisa disaksikan di daerah Purwakarta dan Subang. Batuan ‑ batuan Napal dan Gamping (karang) yang ditemukan mengandung fosil binatang laut Foraminifera, seperti Cyoloclypeus dan Lepidecyclina (Kusumadinata, 1959).
Secara bertahap pantai laut Jawa yang semula terletak di Selatan Pengalengan (Kabupaten Bandung), lama – lama bergeser makin ke Utara, tak jauh dari Kota Bandung. Ini terjadi pada periode revolusioner, di akhir jaman Miosen (25 - 14 juta tahun yang Ialu). Pergeseran pantai Laut Jawa ke arah utara Bandung diakibatkan oleh pembentukan gunung (orogenese) dan proses pelipatan lapisan bumi. Sedimen yang terlipat, kemudian muncul di atas laut.
Masa berikutnya kembali mengalami periode istirahat, di mana kegiatan volkanik dan sedimentasi cekungan dalam laut di Utara Bandung mengakibatkan munculnya bukit bukit Selacau yang bentuknya mirip piramida.
Pada akhir Pliosen (dua juta tahun yang lalu) terjadi lagi periode revolusioner berupa tekanan dari sedimen, hingga terjadi proses pembentukan gunung, disusul menghilangnya Selacau.
Pada permulaan periode Plestosen (1 juta tahun yang lalu), beberapa kegiatan volkanik di daerah Utara Bandung sempat membentuk kumpulan gunung api, ukuran dasarnya sebesar 20 km dengan ketinggian, antara 2.000 - 3.000 Mtr.
Gunung ini dikenal sebagai Gunung .Sunda, sebuah gunung raksasa dengan sebuah kaldera di puncaknya. Sedangkan
Gunung.Burangrang hanya merupakan parasit dari gunung itu (Prof.Dr.Th.H.F.Klompe, "The Geology of Bandung-, 1956).
Masih pada periode Plestosen itu juga, Gn.Sunda runtuh diikuti oleh terjadinya Patahan Lembang. Sebuah rekaman geologi dari periode itu, masih dapat dilihat dalarn bentuk endapan binatang Vertebrata di penyayatan sungai Citarum sebelah barat Batujajar, seperti yang diteraukan oleh Stehn dan Umbgrove (1929).
Nah, sekarang sampailah kita pada kejadian alam yang patut diingat - ingat!
Pada jaman Holosen, 11 ribu tahun yang lalu, lahirlah Gunung Tangkubanparahu sebagai anak dari kaldera Gunung.Sunda, dan gunungapi itu menutupi bagian timur sisa gunungapi lama. Paling tidak gunung itu telah mengalami 3 kali erupsi besar yang mengeluarkan lava dan abu yang menimpa daerah sebelah utara Bandung.
Erupsi besar kedua dari Gunung Tangkubanparahu, yang menurut Cerita Rakyat (Legenda) adalah "perahu" yang tertelungkup ditendang Sangkuriang yang kesiangan, terjadi 6.000 tahun yang lalu.
Adapun muntahan dari erupsi besar kedua itu, tersebar di sebelah barat Ciumbuleuit (Bandung) dan sebagian lagi sempat menyumbat sungai Citarum yang mengalir di lembah Cimeta (utara Padalarang), sehingga terbentuklah "Danau Bandung". Sebuah danau yang sering juga disebut oleh manusia jaman baheula sebagai "Situ Hiang".
Baru sekitar 4000 - 3.000 tahun yang lewat, Danau Bandung mulai surut airnya dan muncullah Dataran Tinggi Bandung. Danau itu mulai kering menyusut, tatkala sungai Citarum yang tersumbat muntahan Gunung Tangkubanparahu atau Gunung Burangrang (?) bisa bebas mengalir kembali, dengan menembus bukit - bukit Rajamandala (sebelah barat Batujajar), melewati terowongan-alam Sanghiangtikoro.
Dataran tinggi Bandung yang terkenal akan kesuburannya, sekarang terletak ± 725 Mtr di atas permukaan laut, dikepung gunungapi dan di sebelah barat terdapat bukit bukit batu gamping. Endapan batu gamping yang membentuk bukit - bukit kapur Padalarang adalah bukti, bahwa daerah tersebut pernah terbenam di dasar laut.
Luas dataran tinggi yang di masa silam pernah jadi Situ Hiang (Danau Bandung), membentang dari Cicalengka di timur sampai Padalarang di arah barat, sejauh kurang lebih 50 km. Dari bukit Dago di utara sampai ke batas Soreang - Ciwidey di selatan berjarak 30 km. Kalau dihitung luas Danau Bandung keseluruhan, hampir tiga kali lipat DKI Jakarta. Suatu wilayah yang insya’allah bakal jadi daerah ‘”Bandung Raya” di kemudian hari.
Sekedar ilustrasi tentang kedalaman Danau Bandung jaman baheula, yang airnya menggenangi sebagian besar Kota Bandung sekarang; tepian sebelah utara terletak di Jalan Siliwangi, utara Kampus ITB sekarang.
Tinggi air di Stasiun Kereta Api diperkirakan 25 meter, sedangkan Alun-alun Bandung terbenam 30 meter. Menurut Geologiwan S.Darsoprajitno, kedalaman air 30 meter dapat mengapungkan kapal laut sebesar lebih dari 50.000 ton.
Sumber : Mahanagari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Barangsiapa yang menghormati dan menghargai orang lain maka sebenarnya dia sedang menghormati dan menghargai dirinya sendiri