Kamis, 27 Mei 2010

Gerilya di Balik Rokok Haram

VIVAnews – Kartono Mohammad bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok (Kakar) melurug Markas Besar Kepolisian RI. Kamis siang itu, 18 Maret 2010, mereka datang dengan satu misi: melaporkan kasus menghilangnya ayat bahaya rokok dalam Undang-undang Kesehatan yang disahkan tahun lalu. Sebelumnya, laporan serupa pernah mereka catatkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, Badan Kehormatan DPR, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, tak ada hasil yang didapat.

Dalam laporan kali ini, Kartono menunjuk hidung. Menurut dia biang keroknya adalah tiga wakil rakyat dari tiga partai berbeda yang duduk di Komisi Kesehatan. Merekalah yang memerintahkan ayat 2 Pasal 113 dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disabotase di tengah jalan. “Ada perintah dari mereka kepada sekretaris untuk menghilangkan ayat tersebut,” kata Kartono. Ia melampirkan bukti dua lembar surat yang ditandatangani ketiga orang itu.

Yang menarik, ayat tentang zat adiktif tembakau ini ditengarai hilang ketika akan diserahkan kepada Presiden Yudhoyono. Padahal sebelumnya, dalam Sidang Paripurna DPR 14 September 2009 klausul tersebut sudah disetujui. Ayat raib itu berbunyi: "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya atau masyarakat sekelilingnya".

Kakar seperti mendapat angin baru. Polemik halal-haram rokok kembali mengemuka setelah muncul fatwa dari Muhammadiyah, salah satu organisasi massa Islam terbesar di Tanah Air. Pada 8 Maret lalu, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan bahwa “merokok hukumnya haram.” Ada enam amar dari fatwa itu. Salah satunya menyatakan merokok merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan sehingga bertentangan dengan Al Quran.

Gawat. Soalnya, rokok bukanlah sekadar urusan kelepas-kelepus. Ini urusan mahasensitif yang punya dampak berskala mega. Indonesia adalah negara produsen rokok terbesar kelima sejagat, dengan total produksi rokok tahun lalu mencapai 245 miliar batang senilai Rp.140 triliun. Jumlah tenaga kerja yang terkait industri ini, dari hulu sampai hilir, mencapai 6,1 juta orang. Sumbangan cukai di tahun 2009 mencapai Rp.53,3 triliun.

Tulus Abadi, perwakilan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Kakar, menyatakan fatwa Muhammadiyah itu memang merupakan bagian dari gerakan anti-rokok. “Ada jaringan yang lebih luas di mana kami semua tergabung, yaitu Indonesian Tobacco Control Network (ITCN, Jaringan Pengendalian Masalah Tembakau Indonesia),” katanya.

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang intens meneliti soal ini, juga tergabung dalam ITCN bersama Komisi Nasional Perlindungan Anak yang dipimpin Seto Mulyadi.

***

Gerakan anti-rokok di Indonesia memang terus membesar, dan mulai kuat bertemali dengan gerakan serupa berskala internasional. ITCN, misalnya, mendapat sokongan dana dari International Union Part Tuberculosis and Lung Disease yang dibiayai Bloomberg Foundation. Ini yayasan yang didirikan Michael Bloomberg, Walikota New York.

Menarik untuk dicatat, pada November 2009, Muhammadiyah pernah mendapat bantuan dari yayasan ini sebesar US$393.234 atau sekitar Rp.4 miliar lebih. Tertera dengan gamblang di situs tobaccocontrolgrants.org, salah satu agenda Bloomberg Initiative (BI) Grants Program adalah untuk “mendapatkan dukungan agama dalam pengawasan tembakau.” Lebih eksplisit, juga disebutkan yang jadi target pengucuran dana hibah ini adalah terbitnya “Ijma Ulama tentang larangan merokok untuk dilaksanakan di seluruh Indonesia.” Program ini berlangsung pada November 2009 hingga 2011 nanti, dirancang berupa penerbitan dan penyebaran fatwa mengenai bahaya penggunaan tembakau di kalangan Muhammadiyah dan lembaga Islam pada umumnya.

Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, membantah fatwa rokok-haram itu berkait langsung dengan pemberian dana bantuan itu. Din bahkan meminta Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial (MKKS) PP Muhammadiyah menyetop kerjasama. “Pada tanggal 16 Maret 2010 lalu, PP Muhammadiyah secara resmi menghentikan kerjasama dengan International Union Part Tuberculosis and Lung Disease,” katanya. Keputusan ini sigap diambil untuk menjawab berbagai tudingan tak sedap di seputar fatwa rokok.

Sejumlah lembaga lain juga tercatat menerima dana bantuan ini. Salah satunya adalah YLKI yang sejak Mei 2008 telah mendapat kucuran dana US$ 454.480. Salah satu programnya adalah untuk “memperjuangkan kawasan bebas rokok di Jawa.”

Selain mengadvokasi, YLKI juga ikut memasok data untuk Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan sejumlah organisasi massa Islam lainnya. “Sebelumnya kan MUI sudah mengeluarkan fatwa haram rokok, hanya bersifat parsial karena terbatas untuk anak-anak, remaja, pelajar, wanita hamil, dan perokok di tempat umum,” Tulus mengingatkan. “Dewan Dakwah Islamiyah malah lebih dulu mengeluarkan fatwa haram rokok sebelum MUI dan Muhammadiyah.”

***

Tak cuma di mimbar agama, pertempuran di lantai parlemen juga berlangsung sengit. Upaya untuk melahirkan sebuah undang-undang yang komprehensif untuk menangani masalah rokok ini telah dimulai sejak tahun 2005. Ketika itu muncul Rancangan Undang-undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau. RUU ini masuk Program Legislasi Nasional 2004-2009 di DPR RI, namun sampai periode itu berakhir nasibnya tak tentu rimba.

Tulus dari YLKI menuding RUU Antirokok selalu kandas karena lobi gencar pengusaha rokok. "DPR ditipu dengan data-data palsu mereka," katanya sengit. Salah satunya data soal "ada enam juta petani tembakau." Mengutip data Badan Pusat Statistik tahun 2007, menurut Tulus petani tembakau hanyalah 581 ribu orang.

Karena itu YLKI menyangsikan parlemen dan pemerintah akan menghasilkan regulasi yang berkualitas. Belum lagi, Tulus masih menuding, “Mereka (pengusaha rokok, red) tak segan-segan menggelontorkan sejumlah besar dana untuk melobi DPR dan partai politik.” Menurut Tulus, DPR dan pemerintah selama ini kelewat memihak argumen industri rokok, bahwa jika RUU itu diloloskan perusahaan dan petani tembakau bakal sontak bangkrut.

Benar begitu?

Tjatur Sapto Edy, anggota DPR 2004-2009 dari Partai Amanat Nasional, menjelaskan parlemen saat itu memandang RUU Pengendalian Tembakau harus dirombak dari hulu ke hilir. “Semua komponen harus diajak dalam pembahasannya. Jangan sampai yang terbebani justru mereka yang selama ini belum diuntungkan,” kata Tjatur yang terpilih kembali masuk Senayan untuk periode 2009-2014 ini. Tjatur, yang mengaku sebagian pemilihnya adalah petani tembakau, berpandangan RUU itu justru bisa membuat pengusaha rokok yang kaya semakin kaya, sementara petani tembakau semakin sulit hidupnya. Karena itu, ia beralasan, ia mendukung agar draf ini dibahas dari nol lagi di parlemen periode ini.

Parlemen periode ini sedang kembali membahasnya. Ledia Hanifa, anggota Komisi Kesehatan dari Partai Keadilan Sejahtera, mengatakan RUU rokok yang sedang dibahas adalah draf yang berasal dari International Foundation for Population and Development (IFPD). “Belum diputuskan apakah kami akan memakainya atau tidak,” katanya. Rancangan ini antara lain berisi larangan total penayangan iklan rokok di televisi.

Penting dicatat, regulasi iklan rokok juga telah dimasukkan pemerintah dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Saat ini iklan rokok bisa muncul di atas pukul 21.30. Tapi, jika rancangan ini diketuk palu, maka iklan rokok diharamkan sama sekali untuk diiklankan di hampir semua jenis media—elektronik, cetak, maupun media luar ruang. Rancangan ini sudah sampai di kantor Departemen Hukum dan HAM sejak 23 Januari lalu.

Di parlemen, dukungan terkuat untuk RUU Pengendalian Tembakau datang dari Partai Keadilan Sejahtera, yang secara internal telah mengharamkan rokok. Ledia Hanifa dari PKS menyatakan, “Dampak tembakau ini antara lain pemiskinan keluarga miskin.”

Fraksi lain tak tegas bersikap.

Irgan Chairul Mahfiz, Wakil Ketua Komisi Kesehatan DPR dan juga Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, ketika ditanya soal ini hanya menjawab begini, “RUU Pengendalian Tembakau terkait dengan pelayanan publik, oleh karena itu memerlukan kajian matang.”

Dukungan dari kandang Banteng juga boleh jadi sulit diharapkan. Catatan menunjukkan Komisi Kesehatan DPR yang sejak 2004 dipimpin politisi PDIP Ribka Tjiptaning pernah menganulir pembahasan RUU Tembakau pada 2009 lalu.

Sementara itu, Demokrat dan Golkar sebagai dua partai terbesar di parlemen, belum mengeluarkan sikap resmi.

***

Di sisi lain, Kubu penentang RUU Tembakau terus merapatkan barisan. Dua hari setelah Departemen Kesehatan menyerahkan RPP Pengamanan Produk Tembakau ke Departemen Hukum dan HAM, para pemain industri rokok mendeklarasikan berdirinya Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI). AMTI dideklarasikan oleh delapan kelompok, antara lain: asosiasi petani cengkeh, asosiasi petani tembakau, serikat pekerja pabrik rokok, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Pemuda Tani Indonesia, Tobacco Association, pabrik, dan gabungan pengusaha rokok kretek Indonesia.

Dan mereka langsung keras memprotes RPP Pengamanan Produk Tembakau. Mereka menuntut agar sejumlah poin krusial dikaji ulang--khususnya tentang larangan total iklan rokok, perluasan kawasan bebas rokok baik yang terbuka dan tertutup, hingga soal pembatasan perdagangan rokok.

Direktur HM Sampoerna, Yos Adiguna Ginting, menyatakan RPP Tembakau jelas-jelas akan memukul industri rokok. Sampoerna yang juga bergabung dalam AMTI telah menyurati Menteri Koordinator Perekonomian dan Presiden untuk menyuarakan protes. “Isu rokok harus dilihat secara komprehensif, karena melibatkan petani, pekerja, pedagang, juga konsumen rokok sendiri. Itu juga termasuk soal pendapatan cukai bagi negara yang terus meningkat setiap tahun. Pada 2010, target penerimaan cukai sekitar Rp.55,9 triliun,” katanya.

Sekretaris Jenderal AMTI, Deradjat Kusumanegara, mengritik RPP Tembakau sekadar menyalin isi aturan sejenis di negara tertentu. “Kondisi Indonesia berbeda, ada lebih dari 3.000 pabrikan besar dan kecil.” Menurutnya di luar negeri, karena didominasi rokok putih maka jumlah tenaga kerja yang diserap tidaklah sebanyak di Indonesia.

Karena itu, AMTI bertekad akan melawan habis-habisan. “Untuk memperjuangkan suara kami, kami berbagi tugas,” kata Ketua AMTI, Sudaryono. Selain parlemen, lima menteri telah ditetapkan jadi target lobi utama mereka—Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Kesehatan, dan Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar.

Supaya lebih lebih riuh, aksi massa pun rupanya mulai digerakkan. Di Temanggung dan Wonosobo, petani tembakau telah mulai menggelar aksi unjuk rasa menolak peraturan antirokok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Barangsiapa yang menghormati dan menghargai orang lain maka sebenarnya dia sedang menghormati dan menghargai dirinya sendiri