Rabu, 26 Mei 2010

Asal Usul Gunung Tangkuban Parahu

Gunung tangkuban Perahu terletak sekitar 30 km di utara Kota Bandung. Gunung ini menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang menarik di Jawa Barat. Lingkungan alamnya yang sejuk, dan sumber mata air panas di kaki-kaki gunungnya. Deretan kawah yang memanjang, menjadi daya tarik tersendiri.

Legenda tentang terjadinya Gunung Tangkubanparahu sangat dikenal di Jawa Barat, disebut pula sebagai asal muasal terjadinya Talaga Bandung atau dongeng Sangkuriang. Legenda ini disusun dalam bentuk sastra lisan yang didalamnya mengandung lambang-lambang yang menginformasikan pengalaman manusia purba tentang kebaikan-kejahatan, perkawinan dan kesuburan, dosa,bencana,asal muasal, nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta menjadi alat pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

Legenda Sangkuriang telah terkenal di akhir abad ke-15. Hal ini disebutkan dalam catatan perjalanan Pangeran Bujangga Manik, seorang pangeran muda kerajaan Sunda dari Istana Pakuan (Bogor sekarang), menjelajahi Pulau Jawa dengan berjalan kaki seorang diri. Catatan yang tertuang dalam lembaran lontar ini, sekarang tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford Inggris sejak tahun 1627.

Ringkasan Cerita Legenda Sangkuriang

Raja SUNGGING PERBANGKARA pergi berburu, di tengah hutan Sang Raja kencing dan tertampung dalam tempurung kelapa. Seekor, burung tembey **** hutan betina bernama WAYUNGYANG yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air kencing tadi. Wayungyang hamil, melahirkan seorang bayi cantik.

Bayi cantik itu dibawa ke keraton ayahnya dan diberi nama DAYANG SUMBI alias RARASATI. banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu si TUMANG.

Ketika sedang asyik bertenun, TOROPONG (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Maka jadilah si Tumang suami Dayang Sumbi.Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama SANGKURIANG.

Ketika berburu di hutan Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk memburu **** betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk sehingga luka.

Sangkuriang diusir dari rumahnya,kemudian ia pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama menuju ke arah Timur akhirnya sampailah di arah Barat lagi dan tanpa sadar telah sampai di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya.

Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuat PERAHU dan TALAGA (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai CITARUM. Sangkuriang menyanggupinya. Maka dibuatlah PERAHU dari sebuah pohon yang tumbuh di arah TIMUR, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung BUKIT TUNGGUL, rantingnya ditumpukkan di sebelah BARAT dan mejadi gunung BURANGRANG Ketika bendungan hampir selesai, Dayang Sumbi memohon kepada Hyang Maha Gaib agar maksud Sangkuriang tidak terwujud.

Dayang Sumbi menebarkan irisan BOEH RARANG (kain putih hasil tenunannya), sehingga ketika itu pula fajar pun terbit. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di SANGHYANG TIKORO dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung MANGLAYANG.

Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi GUNUNG TANGKUBANPARAHU. Sangkuriang pun mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di GUNUNG PUTRI dan berubah menjadi setangkai BUNGA JAKSI.

Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan UJUNGBERUNG akhirnya menghilang ke alam gaib (NGAHIYANG). (Hidayat Suryalaga dalam Sunda.Net.Com – diakses tanggal 18 Mei 2007)Pada versi lain diceritakan bahwa sisa kayu yang ditebang untuk dijadikan perahu oleh Sangkuriang berubah menjadi Gunung Bukit Tunggul,s ebelah timur Gunung Tangkuban Parahu (Tunggul, Bahasa Sunda: yang berarti pangkal kayu), sementara daun-daunnya menjadi Gunung Burangrang (berasal dari Bahasa Sunda yang berarti berguguran),sebelah barat Gunung Tangkuban Parahu. Sementara Dayang Sumbi diceritakan dikejar Sangkuriang hingga akhirnya ia terjun ke kawah Gunung Tangkuban Perahu, sehingga kawahnya disebut Kawah ratu, versi yang lebih tragis, Dayang Sumbi bunuh diri dengan menggunakan kujang.

Arti Legenda Sangkuriang bagi Masyarakat Sunda Dulu dan Sekarang Cerita Sangkuriang adalah legenda yang asalnya disajikan sebagai 125 cerita pantun. Di Jawa Barat cerita pantun umumnya menceritakan tentang putra-putri kerajaan. Dalam cerita pantun memang sering didongengkan hal-hal yang tidak masuk akal. Namun sebenarnya hal tersebut adalah suatu perlambang, bahkan mungkin suatu sindiran.Kebiasaan para pangeran yang bertualang cinta ke daerah-daerah sekitar kerajaan, disindir oleh penyair pantun dengan metafora buang air kecil sembarangan .

Rakyat kecil digambarkan sebagai binatang, seperti **** hutan Wayungyang atau anjing Si Tumang.Disisi lain sang penyair dalam cerita ini, melaporkan peristiwa geologis yang terjadi sekitar 125000 tahun yang lalu. Suatu catatan dan hasil pengamatan luar biasa. Letusan gunung api dahsyat, mengalirnya produk letusan berupa lahar yang kemudian menyumbat Sungai Citarum, digambarkan dengan baik. Sang penyair melaporkan peristiwa alam dan sekaligus menyindir para bangsawan dalam sajian cerita pantun yang memikat.

Peristiwa alam ini disaksikan manusia Bandung Purba jaman dulu. Mungkin dari sinilah awal dari kegiatan wisata yang pertama kali mereka lakukan.Jadi, jika kita rangkumkan nilai-nilai yang terkandung dalam Cerita Sangkuriang ketika itu adalah : kritik sosial pujangga terhadap kebiasaan para keturunan raja bertualang cinta, nilai pengetahuan masyarakat purba tentang kejadian alam waktu itu.

Bagi masyarakat Sunda zaman sekarang Cerita Sangkuriang merupakan cerita yang mencerminkan nilai–nilai kearifan pandangan hidup masyarakat Sunda. Kearifan yang dibungkus dengan cerita legenda ini dapat menjadi acuan hidup bagi siapa pun dalam melayari kehidupannya baik secara manusia lahiriah (fisik) maupun manusia transcendental (ruhi).Berikut saya sajikan ringkasan alur legenda dikaitkan dengan nilai-nilai kearifan sunda yang terkandung di dalamnya menurut seorang budayawan sunda, Hidayat Suryalaga.

Legenda atau Sasakala Gunung Tangkubanparahu dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (= Sungging Perbangkara) bagi manusia yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan untuk menemukan jati diri kemanusiaannya(**** Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (= Danghyang Sumbi, Rarasati); tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (= taropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (= digagahi si Tumang) dan akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (= Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (= Danghyang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki.

Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (= kepala Sangkuriang dipukul). Tentu saja kesombongannya pula yang mempengaruhi Sang Ego untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Keangkuhan sang ego yang telah lelah mencari ilmu dengan mengelilingi seantero jagat, ternyata kembali ke titik awal kehidupannya.

Akhirnya menemukan Sang Nurani yang secara sadar atau pun tidak tetap dicarinya (= Pertemuan Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi). Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego (= Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan oleh Sang Ego. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego (= Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency - silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (= Talaga Bandung) yang berasal dari kumpulan manusia yang bermacam corak ragam perangainya (= Citarum). Keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego sendiri(pembuatanperahu).

Keberadaan Sang Ego itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (= Bukit Tunggul, pohon sajaratun) yang berasal sejak dari awal keberadaannya (= Timur, tempat awal terbit kehidupan) dan Sang Ego pun pada akhirnya akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yad. dan semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (= gunung Burangrang). Betapa mengenaskannya, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego dengan Sang Nurani yang tercerahkan ( = hampir terjadinya perkawinan antara Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (= Bo’eh rarang = kain kafan).

Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego tidak lain hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”, maka ditendangnya keegoisan dirinya jadilah seonggok manusia yang tengah tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (= Gunung Tangkubanparahu).

Walau demikian lantaran masih merasa penasaran dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego dengan Sang Nurani, tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan kini hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego ( = bunga Jaksi).

Akhir kisah dari Sang Ego (=Sangkuriang) yaitu datangnya kesadaran dengan berakhirnya kepongahan hawa nafsunya (=Ujungberung); dengan kesadarannya pula, dicabut sumbat dominasi keangkuhan (= gunung Manglayang), melalui proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (= Sanghyang Tikoro =tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong) serta memperhatikan dan menjaga dengan seksama makanan yang masuk ke dalam lambungnya yaitu makanan yang halal dan bersih (=Sanghyang Tikoro = kerongkongan).

Gunung Tangkuban Perahu dan Sejarah Singkat Geologi Bandung

Bandung sangat beruntung dengan sejarah alamnya. Dari laut bertaman karang yang indah, sekitar 20-30 juta tahun yang lalu berubah menjadi daratan bergunung (5-4 juta tahun yang lalu). Kemudian , 2 juta tahun yang lalu seluruh permukaanya terangkat menjadi daratan, dan menjadi pegunungan. Gunung Sunda purba meletus dahsyat sehingga membentuk kaldera. Anaknya yang bernama Gunung Tangkuban Parahu muncul di tengah kaldera dan meletus berkali-kali. Pada zaman kuarter , sekitar 135 ribu tahun yang lalu ,danau Bandung terbentuk .

Genangannya yang luas mengisi seluruh dataran tinggi Bandung dari Rancaekek hingga Saguling pada ketinggian antara 710-715 meter di tas permukaan laut sekarang Seiring turunnya permukaan air laut, air danau menerobos perbukitan Saguling, mengeringkan danau Bandung. Airnya mengalir pada lembah Sungai Citarum menerobos Gua Sangiangtikoro, dan terus mengalir ke utara. Jadi tempat mengeringnya Danau Bandung Purba berada jauh ke hulu pada punggungan bukit Pasir Kiara, tidak di Sangiang Tikoro Pada masa-masa mengeringnya danau Bandung Purba antara 16-3 ribu tahun yang lalu, dataran Bandung menjadi ranca (rawa) yang becek yang menjadi tempat berjelajahnya badak-badak dan hewan-hewan lainnya.

Inilah padang perburuan yang menggiurkan di masa purbakala. Dengan bersenjatakan tombak bermata obsidian mereka berburu di perbukitan sekeliling Bandung. Batu obsidian yang ditambang di antaranya adalah di daerah Bukit Dago Pakar, Bandung Utara.Sementara itu, koloni yang lain menjelajahi perbukitan kapur citatah dan bertempat tinggal di Gua Pawon, serta di ceruk-ceruk batu kapur sekitarnya.

Daerah bekas danau inilah, yang sekarang berkembang menjadi Kota Bandung. Jika kita perhatikan, dataran Bandung merupakan cekungan, seperti mangkuk yang dikelilingi gunung. Bandung merupakan satu-satunya kota di dunia, yang dikelilingi gunung berapi. Hal ini merupakan daya tarik khusus bagi para geologist, untuk mempelajarinya.

Tangkuban Parahu dan Prospeknya di masa mendatang.

Sejak jamanHindia Belanda, Gunung Tangkuban Parahu telah banyak memikat orang, selain keindahan alamnya, cerita Legenda Sangkuriang yang melatarbelakangi gunung ini juga telah ikut berperan dalam menarik wisatawan, terutama wisatawan nusantara. Ir Poldervaart dan Bandoeng Vooruit membuat jalan hingga ke puncaknya.

Wisatawan terus berdatangan, untuk menyaksikan kawah dan puncaknya.Kritik pujangga terhadap bangsawan, dipadu dengan cerita mengenai kejadian alam yang terjadi di daerah Bandung dan sekitarnya, , menjadi paduan yang tepat dan menjadi magnet bagi datangnya wisatawan ke gunung tersebut.

Arti filosofis dari cerita ini sendiri, berupa nilai-nilai kearifan orang sunda, tidak begitu difahami oleh kebanyakan orang sunda jaman sekarang. Jika kita kaji kembali, maka ada beberapa lintasan perkembangan yang telah dilalui Gunung Tangkuban Parahu, seiring dengan perbahan masyarakat di sekitarnya , khususnya masyarakat sunda. Pada jaman dahulu, alam dipandang manusia sebagai tempat hidup/mengembaranya saja, kemudian ketika alam bergejolak manusia mulai memahami alam sebagai gejala adanya kekuatan di luar dirinya yang mengatur alam semesta (sadar akan adanya kekuatan transenden).

Manusia Bandung purba pun demikian, ketika menyaksikan letusan Gunung Sunda, terjadinya Danau Bandung, dan Gunung Tangkuban Parahu, mereka mengartikannya sebagai sebuah perlambang dari hal yang lebih besar lagi, bahwa semua gejala alam memberikan pelajaran bagi manusia, bahwa kejadian alam mengandung arti filosofi manusia, para pujangga waktu itu kemudia membuat pantun untuk mengungkap kejadian geologis beserta filosofi yang terkandung di dalamnya. Para pujangga juga dengan cerdik menyindir perilaku para keturunan raja dengan kebiasaanya mengembara cinta. Maka jadilah Legenda Sasakala/Asal Muasal Danau Bandung/ Sangkuriang/ Gunung Tangkuban Parahu.

Penulis berpendapat, pada perkembangan selanjutnya, kegiatan manusia menyaksikan kejadian alam ini menjadi awal kegiatan wisata. Namun legenda Tangkuban Parahu ikut mewarnai kegiatan wisata tersebut, bahkan mendukung perkembangan Gunung Tangkuban Parahu menjadi suatu objek wisata alam yang potensial untuk perkembangan Kota Bandung dan sekitarnya.

Namun pada lintasan perkembangan tersebut, kegiatan wisata hanya merupakan milik bangsawan saja. Pada lintasan selanjutnya, dimana ilmu berkembang luas, kesejahteraan meningkat, dan berkembangnya modernisasi, maka kegiatan wisata juga merupakan milik rakyat, para geologist/pecinta alam juga ikut mewarnai dan menyerukan konservasi alam Gunung Tangkuban Parahu. Penulis berpendapat, kelak, mungkin antara mereka (pemerintah,geologist/pecinta alam) akan bekerjasama/bernegosiasi.

Objek Wisata Tangkuban Parahu akan dikembangkan menjadi ekowisata/geowisata, namun jika keduanya tidak dapat berkolaborasi, maka ada kemungkinan, penurunan nilai objek wisata ini, karena kerusakan alam yang tak dapat dihindari.Mungkin objek ini tidak akan dikunjungi lagi, walaupun Gunung Tangkuban Parahu masih berdiri tegak mengawal Bandung dan sekitarnya. Potensi gunung tersebut, sebagai wisata berbasis geologi atau geowisata/ekowisata harus dikembangkan agar hal itu tidak terjadi.Legenda Tangkuban Parahu menjadi pelengkap yang mengungkap sisi menarik lain dari Tangkuban Parahu.

Pada dasarnya cerita tersebut merupakan jawaban manusia Bandung prasejarah atas kejadian bumi yang dahsyat. Bagaimana jawaban manusia Bandung zaman sekarang, bisa menjadi pelengkap yang menambah sempurna daya tarik objek wisata tersebut menjadi daya tarik wisata milik Kota Bandung dan sekitarnya. Dalam perjalanan menuju gunung tersebut, ajaklah wisatawan untuk membayangkan Bandung Purba! Ketika melewati pendopo Bandung, ajak mereka untuk membayangkan bahwa mereka berada di dasar Danau Bandung pada kedalaman 10-15 m.

Sedangkan Sungai Citarum di Jembatan Dayeuh Kolot, merupakan dasar danau dengan kedalaman 50-65 m dari permukaan air danau Bandung Purba. Ceritakan Gunung Tangkuban Parahu merupakan anak gunung Sunda yang meletus dengan dahsyat. Ketika Gunung Tangkuban Parahu meletus, materialnya menahan aliran Citarum Purba, secara bertahap dalam waktu yang lama daerah ini menjadi Danau Bandung Purba. Pada saat itu juga terjadi gesekan air danau dengan Pasir Kiara di selatan Rajamandala, hingga terjadilah erosi dan air Danau Bandung Purba menyusut. Bagi para geologist tentu saja kajiannya lebih dalam, setelah menghubungkan Legenda Tangkuban Parahu dengan sejarah geologi Kota Bandung, mungkin tracking di kawasan sekitar gunung tersebut, akan menjadi satu paket wisata yang menarik dan unik bagi mereka.

Lampiran

Kata-kata yang saya tulis kapital pada ringkasan cerita diatas masing-masing mempunyai arti menurut konsep nilai-nilai intrinsik pandangan hidup “urang Sunda” begitu juga alur ceritanya. Di bawah ini disertakan deskripsi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan legenda gunung Tangkuban Parahu:

* SUNGGING PERBANGKARA. Artinya : Sungging = ukiran,ornamen. Perbangkara (Prabhangkara) = Prabha = cahaya. > ‘ng = penanda hormat, honorifik. > kara = matahari. Maknanya ” Penanda dari kebaikan/kebenaran sebagai cahaya pencerahan bagi yang menyimaknya”

* **** hutan WAYUNGYANG. Artinya: Wayungyang > w(b)ayeungyang = perasaan yang tidak tenteram, gundah gula. Maknanya: Seseorang yang masih berada dalam sifat kehewanan tetapi telah mulai bimbang dan menginginkan menjadi seorang manusia seutuhnya (berperi-kemanusiaan).

* DAYANG SUMBI (DANGHYANG). Artinya : > Dang = penanda hormat, honorific. Yang < hyang =" gaib."> Sumbi = 1) tendok = alat untuk menusuk hidung kerbau agar menurut.

2) Bagian ujung terdepan dari perahu sebagai penunjuk arah dalam berlayar. Maknanya: Petunjuk gaib sebagai kendali manusia dalam menentukan arah dalam melayari kehidupannya. Bisa dimaknai pula sebagai kata hati, nurani yang mendapat pencerahan hidayah Allah Swt.

* RARASATI nama lain dari Dayang Sumbi. Artinya : > Raras = perasaan yang sangat halus. > ati = hati, qalbu. Maknanya: Hati atau qalbu yang penuh dengan kehalusan budi karena mendapat pancaran sinar Ilahi.

* Si TUMANG. Artinya: > tumang = 1) Peti yang tertutup (b. Kawi), 2) mangmang = sumpah (b.Kawi) tu-mang-mang = orang yang terkena sumpah karena waswas. Maknanya: karakter seseorang yang selalu asal bersumpah, waswas, akhirnya termakan sumpahnya sendiri, hatinya seperti peti yang tertutup rapat tidak mendapat pencerahan.

* SANGKURIANG. Artinya: > 1) Sang = penanda hormat, honorifik. > Kuriang < kuring =" saya," sang =" penanda"> Kuriang < hyang =" ego" sangkuriang =" Jiwa">

* TAROPONG. Artinya : 1) Alat bertenun dari sepotong bambu kecil (tamiang) tempat benang pakan (torak); 2) Alat untuk melihat sesuatu agar lebih jelas (teropong). Maknanya: Kegiatan (semangat) manusia dalam menata perilaku kehidupan agar terusun tertib sesuai dengan kualitas dirinya serta mampu melihat dengan jelas alur (visi) kehidupannya.

* Sungai CITARUM. Artinya: > Ci < cai =" air."> Tarum = sejenis tumbuhan, daunnya untuk memberi warna indigo tua (hampir hitam) pada kain/benang tenun. Maknanya: Kehidupan adalah seperti air mengalir dalam perjalanannya akan mengalami beragam celupan kehidupan, kebahagiaan, keprihatinan dan juga hal-hal negatif lainnya sebagai ujian keteguhan hatinya.

* SANGHYANG TIKORO. Artinya: > Sang = penanda hormat, honorifik. > Hyang = gaib. >Tikoro = saluran di leher untuk bernafas dan berbicara (tenggorokan) atau saluran di leher untuk makan (kerongkongan). Maknanya: Kemampuan manusia dalam berbicara tentang apa pun yang baik atau pun yang jelek serta sering dilalui makanan entah yang halal atau yang haram.

* Gunung PUTRI. Artinya > Putri = gadis, wanita cantik jelita, bangsawan. Maknanya: Karakter manusia yang dihiasi nilai keindahan dan cinta kasih. Dimaknai sebagi sifat kewanitaan (feminim, jamalliyah, rohimmi) yang penuh rasa kasih sayang.

* Gunung MANGLAYANG. Artinya: > Manglayang = 1) ngalayang, melayang. 2) Mang-layang > palayangan = Saluran untuk pembuangan air kolam/talaga. Maknanya : Kemampuan manusia untuk menguras dan membersihkan dirinya dari karakter yang kotor.

* UJUNGBERUNG. Artinya: > Ujung = akhir. >berung > ngaberung = menurutkan hawa nafsu. Maknanya : Berakhirnya gejolak hawa nafsu yang negatif.

* Kembang JAKSI . Artinya: 1) Jaksi > bisa dimaknai jadi + saksi . 2) Jaksi = bunga sejenis pohon pandan. Maknanya: Segala sesuatu yang dikerjakan seseorang akhirnya akan menjadi saksi pula bagi dirinya.

* BO’EH RARANG. Artinya : > Bo’eh = kain kafan. > rarang = suci, mahal. Maknanya: Semuanya akan berakhir bila satu saat mau tidak mau harus memakai kain kafan yang suci, yaitu datangnya waktu kematian mungkin secara fisik atau secara psikis.

* Gunung BUKIT TUNGGUL. Artinya : > Bukit = Bentuk gunung yang lebih kecil. > Tunggul = pokok pohon. Maknanya: Siapapun orangnya, kaya-miskin, pembesar atau pun rakyat kecil semuanya mempunyai pokok sejarah dirinya (leluhur) dan juga mempunyai pokok jati dirinya.

* Gunung BURANGRANG. Artinya > Burangrang > Bukit + rangrang. > rangrang = ranting. Maknanya : Siapa pun orangnya tetap akhirnya akan ada sangkut pautnya dengan keturun dan masyarakat yad. yang pada gilirannya semuanya akan hilang ditelan masa (B.S ngarangrangan).

* Gunung TANGKUBANPARAHU. Artinya: >Tangkuban = tertelungkup, menelungkup. > Parahu = perahu. > Gunung Tangkubanparahu = gunung yang bentuknya seperti perahu yang tertelungkup. Maknanya: Dalam kosmologi Sunda, gunung dimaknai sebagai tubuh manusia. Gunung Tangkubanparahu dimaknai sebagai manusia yang sedang menelungkupkan dirinya dan itu menandakan suasana hati yang sedang bingung penuh penyesalan.

* TALAGA BANDUNG. Artinya: > talaga = danau. >bandung = 1) perahu atau dua buah rakit yang disatukan dan di atasnya dibuat tempat berteduh. 2) bandung > bandung + an = memperhatikan, menyimak. Maknanya: Talaga dimaknai sebagai alam kehidupan di dunia ini. Talaga Bandung = Dalam kehidupan di dunia ini kita ibarat perahu yang dirakit berpasangan dengan sesama makhluk lain, seyogyanya dapat membangun kehidupan bersama, yaitu kehidupan yang saling memperhatikan, silih asih, silih asah dan silih asuh, interdependency (saling ketergantungan yang harmonis), equaliter ( setara di depan hukum) dan egaliter (setara di dalam kehidupan)

PERAN SANGKURIANG DAN DANGHYANG SUMBI DALAM LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU

Suatu kajian Hermeneutika terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspeknya Legenda tentang terjadinya Gunung Tangkubanparahu sangat dikenal di Tatar Sunda, disebut pula sebagai sasakala terjadinya Talaga Bandung atau dongeng Sangkuriang. Adapun tokoh Danghyang Sumbi yang seharusnya menjadi esensi maknawi dalam mitos ini sering tersisihkan oleh peran Sangkuriang - puteranya.

Wacana yang tersaji kali ini adalah upaya untuk mengarifi nilai-nilai mitos yang terkandung dalam legenda gunung Tangkubanparahu, sehingga mempunyai nilai tambah bagi pemaknaan kita terhadap wawasan budaya lokal.

MITOS SEBAGAI ACUAN PANDANGAN HIDUP

Berbincang tentang mitos akan berkaitan erat dengan legenda, cerita, dongeng semuanya termasuk kelompok folklore. Mengenai mithos C.A. van Peursen (1992:37) mengatakan sebagai sebuah cerita (lisan) yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang.

Inti dari mitos adalah lambang-lambang yang menginformasikan pengalaman manusia purba tentang kebaikan-kejahatan, perkawinan dan kesuburan, dosa dan proses katarsisnya. Sedangkan Rene Wellek & Austin Warren (1989) menyebutnya sebagai cerita anonim mengenai penjelasan tentang asal mula sesuatu, nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta menjadi alat pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

Mengacu kepada pendapat di atas ternyata mitos yang dikandung dalam legenda adalah sumber pengetahuan mengenai kehidupan manusia pada masa lampau dalam segala aspeknya. Disusun dalam bentuk cerita sastra (sastra lisan) sebagai alat transformasinya, sebab bentuk cerita lisan mempunyai pola struktur dan alur yang cukup ajeg. dalam menuntun ingatan orang sehingga mudah untuk seseorang menuturkannya kembali.

HERMENEUTIKA ILMU TENTANG PENAFISRAN

Kegiatan manusia tidak terlepas dari kemampuan untuk menafsirkan terhadap apa pun yang dialaminya. Hasilnya adalah didapatkannya arti dan makna dari yang ditafsirkannya. Arti adalah hubungan antara sesuatu dengan yang melingkunginya, hubungan teks dengan konteks (Saini KM, 2004). Adapun makna adalah hubungan arti dengan nilai esensial yang dikandungnya.

Kemampuan mengartikan dan memaknai sesuatu dalam budaya Sunda disebut dengan kemampuan memanfaatkan Panca Curiga (lima senjata/ilmu), yaitu kemampuan untuk menafsirkan secara: silib, yaitu memaknai sesuatu yang dikatakan tidak langsung tetapi dikiaskan pada hal lain (allude); sindir yaitu penggunaan susunan kalimat yang berbeda (allusion); simbul yaitu penggunaan dalam bentuk lambang (symbol, icon, heraldica); siloka adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma) dan sasmita adalah berkaitan dengan suasana dan perasaan hati (depth aporisma)

Dalam tulisan ini pun penulis menggunakan konsep hermeneutika untuk mencoba menarik arti dan makna yang dikandung dalam legenda Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspek yang dikandungnya.

Kaidah lain untuk melakukan analisis, penulis memanfaatkan leksikografi (cara menuliskan kata); etimologi (tentang asal-usul kata), semantik (tentang arti kata) dan semiotika (tentang arti dan makna lambang).

BEBERAPA KARYA SASTRA YANG BERTEMAKAN LEGENDA GUNUNG TANGKUBANPARAHU

Legenda Gunung Tangkubanparahu dengan tokoh-tokohnya telah mengilhami para sastrawan untuk mewujudkannya dalam karya sastra seperti dalam:

* Bentuk Cerita : Sang Koeriang, A.C. Deenik diambil dari Pleyte. Tt. - Gunung Tangkuban Parahu, R. Satjadibrata, 1946 - Babad Sangkuriang dalam Naskah Sunda Lama Kelompok Babad, Edi S. Ekadjati, 1983.
* Bentuk Gending Karesmen (opera) : Sangkuriang Larung, Hidayat Suryalaga, 1973.
* Bentuk Sajak : Sangkuriang, Hasan Wahyu Atmakusumah, 1955 - Sang Kuriang, Kusnadi Prawirasumantri, 1992 - Ngabendung Situ, Ajip Rosidi, 1962 - Sang Kuriang, Beni Setia, 1972 - Tapak Sangkuriang, Dadan Bahtera, 1989- Sangkuriang Kabeurangan, Wahyu Wibisana, 1992
* Bentuk Skripsi : Pergeseran Fungsi Mitos Sangkuriang dari Cerita Sangkuriang ke dalam Sajak Sunda, Suhandi, Fakultas Sastra Unpad, 1994.

Semua karya sastra di atas tidaklah sama dalam mengartikan dan memaknai legenda Tangkubanparahu atau tokoh pemerannya. Tergantung kepada konsep hermeunetika yang diacu oleh penulisnya. Walau demikian alur ceritanya tidak banyak berubah.

Secara singkat alur ceritanya sebagai berikut:

Raja SUNGGING PERBANGKARA pergi berburu, di tengah hutan Sang Raja kencing dan tertampung dalam tempurung kelapa. Seekor **** hutan betina bernama WAYUNGYANG yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air kencing tadi. Wayungyang hamil, melahirkan seorang bayi cantik.

Bayi cantik itu dibawa ke keraton ayahnya dan diberi nama DAYANG SUMBI alias RARASATI. banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu si TUMANG.

Ketika sedang asyik bertenun, TOROPONG (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama SANGKURIANG.

Ketika berburu di hutan Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk memburu **** betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta KEPALA Sangkuriang dipukul dengan senduk sehingga luka. Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia.

Setelah sekian lama menuju ke arah Timur akhirnya sampailah di arah Barat lagi dan tanpa sadar telah sampai di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya.

Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuat PERAHU dan TALAGA (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai CITARUM. Sangkuriang menyanggupinya. Maka dibuatlah PERAHU dari sebuah pohon yang tumbuh di arah TIMUR, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung BUKIT TUNGGUL, rantingnya ditumpukkan di sebelah BARAT dan mejadi gunung BURANGRANG Ketika bendungan hampir selesai, Dayang Sumbi memohon kepada Hyang Maha Gaib agar maksud Sangkuriang tidak terwujud.

Dayang Sumbi menebarkan irisan BOEH RARANG (kain putih hasil tenunannya), sehingga ketika itu pula fajar pun terbit. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di SANGHYANG TIKORO dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung MANGLAYANG.

Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi GUNUNG TANGKUBANPARAHU. Sangkuriang pun mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di GUNUNG PUTRI dan berubah menjadi setangkai BUNGA JAKSI. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan UJUNGBERUNG akhirnya menghilang ke alam gaib (NGAHIYANG).


KESIMPULAN YANG BISA KITA MAKNAI

Bila kita runut seluruh informasi di atas, maka akan ditemukan alur kearifan pandangan hidup masyarakat Sunda yang terkandung dalam legenda Gunung Tangkubanparahu. Kearifan yang dibungkus dengan cerita legenda ini dapat menjadi acuan hidup bagi siapa pun dalam melayari keberadaannya baik secara manusia lahiriah (fisik) maupun manusia transendental (ruhi).

Di bawah ini dirangkai kembali secara ringkas alur legenda tsb. semoga dapat memperjelas arti dan makna yang dikandungnya:

Legenda atau Sasakala Gunung Tangkubanparahu dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (= Sungging Perbangkara) bagi manusia yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan untuk menemukan jatidiri kemanusiaanya ( = Wayungyang).

Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (= Danghyang Sumbi, Rarasati); tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (= taropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (= digagahi si Tumang) dan akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (= Sangkuriang).

Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (= Danghyang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki.

Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (= kepala Sangkuriang dipukul). Tentu saja kesombongannya pula yang mempengaruhi Sang Ego untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Keangkuhan rasio yang telah lelah mencari ilmu dengan mengelilingi seantero jagat, ternyata kembali ke titik awal kehidupannya.

Akhirnya menemukan Sang Nurani yang secara sadar atau pun tidak tetap dicarinya (= Pertemuan Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi). Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (= Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan oleh Sang Ego. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego (= Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency - silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan social (= Talaga Bandung) yang berasal dari kumpulan manusia yang bermacam corak ragam perangainya (= Citarum). Keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego sendiri (= pembuatan perahu).

Keberadaan Sang Ego itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (= Bukit Tunggul, pohon sajaratun) yang berasal sejak dari awal keberadaannya (= Timur, tempat awal terbit kehidupan) dan Sang Ego pun pada akhirnya akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yad. dan semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (= gunung Burangrang).

Betapa mengenaskannya, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego dengan Sang Nurani yang tercerahkan ( = hampir terjadinya perkawinan antara Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (= Bo'eh rarang = kain kafan).

Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego tidak lain hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada "dirinya", maka ditendangnya keegoisan dirinya jadilah seonggok manusia transcendental yang tengah tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (= Gunung Tangkubanparahu).

Walau demikian lantaran masih merasa penasaran dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego dengan Sang Nurani, tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan kini hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego ( = bunga Jaksi).

Akhir kisah dari Sang Ego (=Sangkuriang) yaitu datangnya kesadaran dengan berakhirnya kepongahan hawa nafsunya (=Ujungberung); dengan kesadarannya pula, dicabut sumbat dominasi keangkuhan rasio (= gunung Manglayang), melalui proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (= Sanghyang Tikoro =tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong) serta memperhatikan dan menjaga dengan seksama makanan yang masuk ke dalam lambungnya yaitu makanan yang halal dan bersih (=Sanghyang Tikoro = kerongkongan).


Sumber :
Brahmantyo, Budi,2004.Bandung Purba,Masyarakat Geografi Indonesia, Bandung Brahmantyo, Budi.2006.Geowisata, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Geologi, Bandung
Suryalaga, Hidayat. Peran Sangkuriang dan Danghyang Sumbi dalam Legenda Tangkuban Parahu, Sunda.Net.Com – diakses tanggal 18 Mei 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Barangsiapa yang menghormati dan menghargai orang lain maka sebenarnya dia sedang menghormati dan menghargai dirinya sendiri