Minggu, 30 Agustus 2009

Ibnu Atho'illah As sakandari

Kelahiran dan keluarganya

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin,
Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-
Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya
berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani
Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah.

Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana
keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini
demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang
tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia
dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri
Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya
“Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap
Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: "Demi
Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui
jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama,
kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya.

Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-
Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’
memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak
dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa
arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’Sholihin.

Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang
faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt
sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terangterangan
tidak menyukainya.

Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya
adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan
serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy
mengatakan: "Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah)
datang ke sini, tolong beritahu aku", dan ketika aku datang, al-Mursi
mengatakan: "Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat
penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga
gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: " Wahai Muhammad.. kalau
engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka". Dengan bijak
Nabi mengatakan : " Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang
yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka". Begitu juga, kita harus sabar
akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim
fiqih ini”.

Pada akhirnya Ibn Atho' memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar.
Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai
bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi
menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa :

Masa pertama

Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama
seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di
Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya
yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih,
dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: "Dulu aku adalah termasuk orang yang
mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau".
Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka
(ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat
menentangnya”.

Masa kedua

Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu
kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu
al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo.
Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama' tasawwuf. Ketika bertemu dengan
al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung
dari gurunya ini.

Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika
Ibn Atho' mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya
dalam hatinya : "apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang
benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku
merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat
siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia
orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian
halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan
tekun tentang masalah-masalah syara'. Tentang kewajiban, keutamaan dan
sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru
sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia
telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku".

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin
tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya
dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke
dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan
meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan
keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : "Aku menghadap guruku al-Mursi, dan
dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku
mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan :
"Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah
pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya
tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : "Tuanku… apakah
sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada
tuan?". Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak demikian
itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah
padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga".

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku
beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama
sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia
sendiri yang mengeluarkan mereka". Mendengar uraian panjang lebar semacam
itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan
alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam
hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang
dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah".

Masa ketiga

Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho' dari Iskandariah ke Kairo. Dan
berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H.
Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu
fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah
menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan
makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya
dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan
uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah.

Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah
adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan
selain Allah SWT.

Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang
tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia
sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk
masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada
dalam rumah yang banyak penghuninya.

Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi
penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di
samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia
bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.

Ibnu Hajar berkata: "Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang
menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan
dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka
tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan". Hal
senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : "Ibnu Atho’illah adalah orang yang
sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak
sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan
yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah". Termasuk
tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh.

Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan
tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang
kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.

Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho' meninggalkan banyak karangan
sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah
sampai khitobah.

Karomah Ibn Athoillah

Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal
Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai
pada ayat yang artinya: "Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia...". Tibatiba
terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: "Wahai
Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka". Demi menyaksikan karomah
agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu
Atho’illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu
murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang
thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa
dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang
guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar
teman-temannya menjawab "Tidak". Kurang puas dengan jawaban mereka, dia
menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : "Siapa saja
yang kamu temui ?" lalu si murid menjawab : "Tuanku… saya melihat tuanku di
sana ". Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : "Orang besar itu bisa
memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti
menjawabnya”.

Ibn Atho'illah wafat

Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut
wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam
barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-
Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan
sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini
untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.

Sumber : www.al-hasani.com

Syaikh Nawawi Al Bantany

Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam
Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan
tokoh ulama klasik madzhab Syafi'i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M).

Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren
tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama
Syekh asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat
memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan.

Di setiap majlis ta'lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai
ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya
sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang
dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah
naungan NU.

Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal
sebagai lama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the Great scholar).
Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan
teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga
pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan
tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak
menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Apabila SYEKHHasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa
dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah
guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini,
seringkali SYEKHHasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang
kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan
air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.

Hidup Syekh Nawawi

Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti
Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih
dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani.
Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815
M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi
menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia
dimakamkan di Ma'la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin
istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di
Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di

Syekh Nawawi Al-Bantani

hari Jum'at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk
memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Syekh Umar, seorang pejabat penghulu yang
memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan
kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin
(Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul 'Arsy). Nasabnya
bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja'far As- Shodiq,
Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen,
Fatimah al-Zahra.

Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah
menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar
ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama
ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke
daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif
cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri.

Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung
mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat
pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang
datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian
ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya
untuk mukim dan menetap di sana.

Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal,
pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib
Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia)
dan SyekhAbdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di
sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini
Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada
Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya
pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut
penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan
perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun
berasal dari Mesir seperti SyekhYusuf Sumbulawini dan SyekhAhmad
Nahrawi.

Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan
meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi
di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai
mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup
memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia
tercatat sebagai Ulama di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya
bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis
banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk
menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari
sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan
kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap
karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab
yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh)
dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit
dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain,
Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya
yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.

Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan
ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih
dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota
penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana
terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat
tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria.
Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa
yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Nawawi bahkan
termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M.

Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A 'yan 'Ulama' al-Qarn aIRa
M' 'Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-
Mudaqqiq, dan Sayyid 'Ulama al-Hijaz.

Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam
mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para
pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk
membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di
beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan
harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar
langsung pada Syekhagar proses pembelajaran dengan Syekhtidak
mengalami kesulitan.

Bidang Teologi

Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya
berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi
bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa
dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab
kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya
karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh
Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak
mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan
pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi
pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara
konprehenshif-utuh.

Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya
sebagai penganut teologi Asy'ari (al-Asyari al-I'tiqodiy). Karya-karyanya
yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid,
Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-
Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su'ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang
teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan
Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh
Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang
muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat
diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya.
Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan
mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan
mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak
melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah
sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi
bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun
dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil
memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di
negeri ini.

Kemudian mengenai dalil naqliy dan 'aqliy, menurutnya harus
digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan
di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban
seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan
terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan
dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan
setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya
dalam benak akal pikirannya.

Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah
(Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy'ary lainnya, Nawawi
menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengahtengah
antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah,
sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui
Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep
jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia
itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia,
manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks
Indonesia sebenamya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan
menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil
mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme
Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.

Sayangnya sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi
Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah
perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu
itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan
teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan
Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi
Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan
sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah.

Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan
bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak
terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi
dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat
menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam "koloni
Jawa".Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi
bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram
hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh
kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada
mereka.

Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi
dikatakan sebagai "obor" mazhab imam Syafi'i untuk konteks
Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat a/-Naja,
Syarh Sullam a/-Taufiq, Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi'in dan
Tasyrih a/a Fathul Qarib,sehingga Syekh Nawawi berhasil
memperkenalkan madzhab Syafi'i secara sempurna Dan, atas dedikasi

Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar
dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil
tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai
daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun
1870 para ulama Universitas alAzhar Mesir pemah mengundangnya
untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah.
Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama Syekh Nawawi
sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di
Mesir.

Sufi Brilian

Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas
intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin
ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik
dengan tasawuf. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi
brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat
dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman,
seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang
dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-
Zulam, Qami' al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi
banyak sekali merujuk kitab Ihya 'Ulumuddin alGazali. Bahkan kitab ini
merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.

Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya
(pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal
Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan
karir dan pengembangan spesialisasi ilmu penegatahuan yg ditekuni
serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda
tarbiyah tasawuf seperti guru2nya. Ketasawufan beliau dapat dilihat
dari pandangannya terhadap keterkaitan antara praktek tarekat,
syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari
keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal,
tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan
yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses
pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari
perjalanan (ibtida'i) seorang sufi, sementara hakikat adalah basil dari
syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh

Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut
tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam,
syariat.

Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan
pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman
yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model
paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan
dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dibedakan dari
karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri,
Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.

Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam
menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan
tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi
pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh
dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai
seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai
kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari
pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu
lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta'alum (berguru) dan
tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat 'alim sedangkan ilmu
batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan
musyahadah sehingga mencapai derajat 'Arif. Seorang Abid diharapkan
tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja
tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.

Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu
lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat
terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha
menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan
tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan
dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).

Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap
moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh
Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat
di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya
dengan "sistem yang durhaka". Permintaan Sayyid Ustman ini
bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam
praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai
penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati
Nawawi menjawab dengan. bahasa yang manis tanpa menyinggung
perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia
memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia
spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan
politik.

Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang
dikembangkan di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam
laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888
M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila
sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak
ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits,
sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut
mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas
dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh
Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan
bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa
mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat 'Ala
Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah
berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.

Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan
dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-
Iembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya
Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina
Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di
Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah
agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum
tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi
Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya
Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah
agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van
Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46
Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat
bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum
Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990
diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di
sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang
banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di
antaranya adalah karya Nawawi.

Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di
Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam
yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga
dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari
dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul
Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari
Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H
Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu
perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H
Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten,
K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H
Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H
Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung
Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang
tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh
ajaran Nawawi.

Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat
dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi
pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain
seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh,
turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang
sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah.

Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka
semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama
yang sangat menentukan wama jaringan intelektual pesantren. Mereka
adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh
Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan
Madura, dan Syekh Hasyim Asy'ari. Tiga tokoh yang pertama
merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.

Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karyakarya
Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari
jasa mereka. K.H. Hasyim Asya'ari, salah seorang murid Nawawi
terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam
memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa.

Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur'an di
setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya'ari lebih cenderung
untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak
sarna sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang
membaca Kitab tafsir a/-Manar karya seorang reformis asal Mesir,
Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu
sinis mencela ulama klasik ia tidak mall mengajarkannya pada santri
dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi
lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh Kholil Bangkalan dengan
pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam
penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim
yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan
nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki
Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.

Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga
turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak
dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi
telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai
tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain.

Peranan Syekhpara pemimpin pondok pesantren dalam
memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di
berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi
keilmuan tradisional Islam. Para Syekhdidikan K.H Hasyim Asyari
memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi
sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi.

Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak
mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren
yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang
selain mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat
pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua
pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu
sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi
lain. Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi
dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini
Nawawi, ibarat alGazali, telah mendamaikan dua kecenderungan
ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan
fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.

Sumber : http://www.al-hasani.com/

Ayat Suci dalam Kromosom Manusia

Seorang ilmuwan yang penemuannya sehebat Gallileo, Newton dan Einstein yang
berhasil membuktikan tentang keterkaitan antara Alquran dan rancang struktur tubuh
manusia adalah Dr. Ahmad Khan. Dia adalah lulusan Summa Cumlaude dari Duke
University.

Walaupun ia ilmuwan muda yang tengah menanjak, terlihat cintanya hanya
untuk Allah dan untuk penelitian genetiknya. Ruang kerjanya yang dihiasi
kaligrafi, kertas-kertas penghargaan, tumpukan buku-buku kumal dan kitab suci
yangsering dibukanya, menunjukkan bahwa ia merupakan kombinasi dari ilmuwan dan
pecinta kitab suci.

Salah satu penemuannya yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan adalah
ditemukannya informasi lain selain konstruksi Polipeptida yang dibangun dari kodon
DNA. Ayat pertama yang mendorong penelitiannya adalah Surat "Fussilat" ayat 53
yang juga dikuatkan dengan hasil-hasil penemuan Profesor Keith Moore ahli
embriologi dariKanada.

Penemuannya tersebut diilhami ketika Khatib pada waktu salat Jumat
membacakan salah satu ayat yang ada kaitannya dengan ilmu biologi.
Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut: "...Sanuriihim ayatinaafilafaaqi wa fi
anfusihim hatta yatabayyana lahum annahu ul-haqq..."Yang artinya; Kemudian akan
Kami tunjukkan tanda-tanda kekuasaan kamipada alam dan dalam diri mereka, sampai
jelas bagi mereka bahwa ini adalah kebenaran".

Hipotesis awal yang diajukan Dr. Ahmad Khan adalah kata "ayatinaa"yang memiliki
makna "Ayat Allah", dijelaskan olehAllah bahwa tanda-tanda kekuasaanNya ada juga dalam diri manusia. Menurut AhmadKhanayat-ayat Allah ada juga dalam DNA (Deoxy Nucleotida Acid) manusia.

Selanjutnya ia beranggapan bahwa ada kemungkinan ayat Alquran merupakan bagian
dari gen manusia. Dalam dunia biologi dan genetikadikenal banyaknya DNA yang hadir
tanpamemproduksi protein sama sekali. Area tanpa produksi ini disebut Junk DNA atau DNA
sampah.

Kenyataannya DNA tersebut menurut Ahmad Khan jauh sekali dari makna
sampah. Menurut hasil hasil risetnya, Junk DNA tersebut merupakan untaian firmanfirman
Allah sebagai pencipta serta sebagai tanda kebesaran Allah bagi kaum yang
berpikir. Sebagaimana disindir oleh Allah; Afala tafakaruun (apakah kalian tidak
mau bertafakur atau menggunakan akal pikiran?).

Setelah bekerjasama dengan adiknya yang bernama Imran, seorang yang ahli dalam
analisis sistem, laboratorium genetiknya mendapatkan proyek dari pemerintah.
Proyek tersebut awalnya ditujukan untuk meneliti gen kecerdasan pada manusia.
Dengan kerja kerasnya Ahmad Khan berupaya untuk menemukan huruf Arab yang mungkin
dibentuk darirantai Kodon pada cromosome manusia. Sampai kombinasi tersebut menghasilkan ayatayat Alquran.

Akhirnya pada tanggal 2 Januari tahun1999 pukul 2 pagi, ia menemukan
ayat yang pertama "Bismillah irRahman ir Rahiim. Iqra bismirrabbika ladzi Khalq";
"bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan". Ayat tersebut adalah awal dari
surat Al-A'laq yang merupakan surat pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad di Gua Hira.

Anehnya setelah penemuan ayat pertama tersebut ayat lain muncul satu persatu secara cepat. Sampai sekarang ia telah berhasil menemukan 1/10 ayat Alquran.

Dalam wawancara yang dikutip "Ummi" edisi 6/X/99, Ahmad Khan menyatakan: "Saya
yakin penemuan ini luar biasa, dan saya mempertaruhkan karier saya untuk ini. Saya
membicarakan penemuan saya dengan dua rekan saya; Clive dan Martin seorang ahli
genetika yangselama ini sinis terhadap Islam. Saya menyurati dua ilmuwan lain yang
selama ini selalu alergi terhadap Islam yaitu Dan Larhammar dari Uppsala
University Swedia dan Aris Dreisman dari Universitas Berlin.

Ahmad Khan kemudian menghimpun penemuan-penemuannya dalam beberapa lembar kertas
yang banyak memuat kode-kode genetika rantai kodon padacromosome manusia yaitu; T,
C, G, dan A masing-masing kode Nucleotida akan menghasilkan huruf Arab yang
apabila dirangkai akan menjadi firman Allah yang sangat mengagumkan.

Di akhir wawancaranya Dr. Ahmad Khan berpesan "Semoga penerbitan buku saya
"Alquran dan Genetik", semakin menyadarkan umat Islam, bahwa Islam adalah jalan
hidup yang lengkap. Kita tidak bisa lagi memisahkan agama dari ilmu politik,
pendidikan atau seni. Semoga non muslim menyadari bahwa tidak ada gunanya
mempertentangkan ilmu dengan agama.

Demikian juga dengan ilmu-ilmu keperawatan. Penulis berharap akan
datang suatu generasi yang mendalami prinsip-prinsip ilmu keperawatan yang digali
dari agama Islam. Hal ini dapat dimulai dari niat baik para pemegang kebijakan
(decission maker) yangberagama Islam baik di institusi pendidikan atau pada level
pemerintah. Memfasilitasi serta memberi dukungan secara moral dan finansial.

Fitnah Itu akhirnya terungkap (WTC tragedy)


Z.A. Maulani

(Mantan Kepala Badan Intelijen Negara/KABAKIN)

Pendahuluan

Bagian pertama dari makalah ini . `Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah'. mengungkap berbagai fakta yang menjadi dasar ditulisnya E-book Prof. Dr. Alberto D. Pastore Ph.D., berjudul ‘Stranger Than Fiction’, yang menceritakan bagaimana peran secara sangat detil dari dinas rahasia Israel Mossad, yang menggarap sejak perencanaan sampai dengan pelaksanaan aksi serangan atas gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC. Pada tanggal 11 September 2001.

Perbuatan keji itu dinisbahkan kepada 19 orang "teroris Islam" dari Al- Qaidah dan para pendukungnya yang tersebar di seluruh dunia, termasuk konon menurut fitnah itu, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, sebagai pimpinan organisasi teroris regional Jama’ah Islamiyyah (JI). Sampai dengan hari ini para “teroris Islam” itu tidak satu pun yang berhasil diajukan ke depan pengadilan oleh pemerintah Amerika Serikat, karena mereka memang tidak ada.

Dua orang pejabat negara yang melakukan invasi ke Afghanistan (2002) dan Iraq (2004), mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair, Michael Meacher, dan mantan menteri keuangan pemerintah Bush, Paul O’Neill mengungkapkan fakta, berdasarkan kejujuran mereka, tentang apa yang menjadi motivasi sebenarnya sampai Afghanistan dan Iraq diserbu dan dijadikan jajahan oleh Amerika, dan apa dan bagaimana cerita kejadian sebelum, pada tanggal 11 September 2001, dan sesudahnya, yang telah dijadikan alasan untuk melakukan stigmatisasi negatif terhadap Dunia Islam dan kaum muslimin.

Pada bagian kedua makalah ini, diturunkan kutipan tulisan dari Michael Meacher, mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair dari Mei 1997 sampai Juni 2003 (6 tahun). Meacher menurunkan segenap pengetahuannya dalam sebuah kolom 'This War on Terrorism is Bogus', di koran Guardian, London, edisi 6 September 2003, dalam rangka memperingati dua tahun kejadian 11 September 2001, yang oleh mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohammad disebut sebagai “musibah (fitnah) yang sempurna atas kaum muslimin”.

Sedang pada bagian ketiga adalah hasil wawancara wartawati Margaret Neighbour dari koran The Scotsman, dengan artikel, ’Bush Admits He Wanted Regime Change Before 11 September’ (Bush Mengakui Ia Memang Menginginkan Penumbangan Rejim Sebelum 11 September 2001), yang terbit pada tanggal 13 Januari 2004, yang diilhami oleh buku Paul O'Neill "The Price of Loyalty" (2003).

Selain itu, atas pertanyaan wartawati Margaret Neighbour, terungkap bahwa Bush mengakui serangan terhadap Afghanistan dan Iraq dengan menjadikan peristiwa 11 September 2001, serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC. sebagai dalih, telah direncanakan oleh pemerintah Amerika Serikat jauh sebelumnya.

Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah Tanpa ambil pusing untuk melakukan pembuktian tuduhannya, dengan dalih “perang membasmi terorisme”, Amerika Serikat menempatkan kaum muslimin di seluruh dunia menjadi sasaran pendzaliman. Afghanistan, negeri muslim yang miskin, diratakan jadi arang dengan “carpet bombing”, karena dosa Afghanistan “menampung kelompok teroris Al Qaidah”.

Publik dipaksa untuk melupakan kenyataan bahwa yang mendukung Al Qaidah, melatih dan membiayai, dan menempatkan mereka di Afghanistan sejak tahun 1979, adalah Amerika Serikat sendiri, persisnya Central Intelligence Agency (CIA), dalam rangka memerangi Uni Sovyet di negeri miskin tersebut.


Sesudah Afghanistan, kemudian Iraq menyusul dihabisi dan dijajah dengan dalih Iraq mengembangkan dan menyimpan “senjata-pemusnah-massal”, berdiri di belakang serangan 11 September 2001, dan mendukung serta melindungi Al- Qaidah.

Pada tanggal 28 Januari 2002, di depan Kongres Amerika Serikat, presiden Bush melaporkan, “The British government has learned that Saddam Husein recently sought significant quantities of uranium from Africa” (Pemerintah Inggeris telah berhasil mengetahui bahwa Saddam Hussein baru-baru ini telah mengusahakan (untuk mendapatkan) sejumlah besar uranium dari
Afrika).

Enambelas butir kata yang kini menjadi gunjingan orang banyak itu kini ternyata didasarkan pada dokumen yang palsu, atau dipalsukan, yang digunakan sebagai dalih oleh Presiden Bush untuk mengelabui rakyat dan Kongres Amerika Serikat untuk mendapatkan persetujuan melibas Iraq.

Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam pidatonya di depan Parlemen Westminster sebelum serangan ke Iraq dilancarkan pada medio Maret 2003, bahkan mengintimidasi, bahwa “dalam tempo 45 jam setelah perintah Saddam Hussein dikeluarkan Iraq akan mampu melancarkan serangan dengan senjata-senjata nuklir, kuman dan biologis”.

Kalau sekiranya tuduhan itu benar, maka serangan terhadap Iraq memang harus segera dilaksanakan, sebagaimana alasan Bush, “sebelum Iraq dapat menyerang kita”. Hanya saja ternyata pernyataan itu bohong dan seratus persen fitnah, yang digunakan sebagai dalih untuk menyerang Iraq.

Sebenarnya direktur CIA, George Tenet, empat bulan sebelumnya pada bulan Oktober 2003, secara pribadi pernah dua kali mengirimkan memo kepada Gedung Putih agar menghapus “16-kata” itu dari konsep pidato Presiden Bush yang menuduh Iraq telah mengusahakan untuk “membeli lima ratus ton uranium-oksida” dari Niger.

Ketika usaha Tenet itu gagal, CIA menyatakan tidak ikut bertanggung jawab dengan “informasi intelijen” itu, karena diketahui didasarkan pada dokumen dan informasi palsu. Tetapi para pembantu dekat presiden Bush tetap menekan CIA agar mengeluarkan analisis yang nadanya mendukung “temuan” Presiden Bush itu.


(‘The Amazing Stories of Condoleezza Rice', http://www.buzzflash.com, July 3, 2003).

Dewan Keamanan PBB, ketika mendengar laporan menteri luar-negeri Collin Powell, menolak informasi tentang upaya Iraq membeli uranium-oksida itu, karena diketahui isi dokumen itu memuat banyak ketidakcermatan yang mencurigakan.

Antara lain sebagai contoh, presiden Niger yang disebut-sebut dalam dokumen intelijen presiden Bush itu ternyata adalah tokoh yang telah lama meninggal dunia. Tidak heran kalau dokumen semacam itu ditolak mentah-mentah oleh duta-besar Niger di PBB (Ibid.)


Karena kecaman yang bertubi-tubi terhadap kesemberonoan Presiden Bush menggunakan intelijen yang tidak akurat, maka untuk mengatasi serangan itu pada bulan Mei 2003, menjelang dinyatakan berakhirnya operasi di Iraq, kembali Bush mengumbar kebohongan,


“We’ve found the weapons of mass destruction. You know, we found biological laboratories. And we’ll find more weapons as time goes on. But for those who say we haven’t found the banned manufacturing devices or banned weapons, they’re wrong. We found them”


(Kita telah menemukan senjata senjata pemusnah massal itu. Kita telah menemukan laboratorium senjata-senjata kimia. Dan kita akan menemukan lebih banyak lagi senjata dengan berjalannya waktu. Mereka yang mengatakan kita belum menemukan pabrik alat-alat atau senjata terlarang itu, mereka keliru. Kita telah menemukannya).

Sampai hari ini nyatanya pasukan Amerika dan Inggeris di Iraq belum juga berhasil menemukannya \(The Independent Institute, ‘Preemptive War Strategy: A New US Empire?’, http://www.independent.org , July 26, 2003).

Kini fitnah busuk itu terungkap satu per satu. Dari lembaga resmi militer Amerika Serikat, The Armed Forces Institute of Pathology (AFIP), berdasarkan hasil pemeriksaan mereka atas daftar manifes penumpang pesawat, yang konon “dibajak oleh 19 orang teroris Arab”, dan dari hasil otopsi pada tanggal 16 Nopember 2001 terhadap 189 korban para penumpang pesawat, ternyata baik dari daftar manifes penumpang maupun dari otopsi jenazah para korban, AFIP menyatakan tidak menemukan satu pun nama orang Arab, atau jenazah orang Arab.

Satu-satunya yang ada kaitannya dengan orang Arab, mereka adalah kambing-hitam pemerintah Amerika Serikat (The Prince George's Journal, Maryland, ‘Operation 911: No Suicide Pilots’, edisi September 18, 2001, dikutip oleh http://www.serendipity.li/wtc.html, July 14, 2003)

Cerita tentang 19 orang “teroris Islam” Al-Qaidah yang oleh intelijen Amerika Serikat disebut-sebut berhasil menyusup dan menguasai pesawat dan menghunjamkannya ke gedung-kembar WTC itu, kini seluruhnya ternyata cerita isapan jempol, yang digunakan untuk menghasut kecurigaan terhadap kaum muslimin sedunia tanpa kecuali, termasuk terhadap kaum muslimin di Indonesia.

Nama Muhammad Atta, Marwan Al-Sehhi, dan Hani Hanjour, yang konon dikatakan sebagai para pilot berkebangsaan Saudi yang berhasil membajak, kemudian mengemudikan dan menabrakkan pesawat-pesawat Boeing 767 ke gedung-kembar WTC di New York dan Pentagon di Washington DC., menurut Marcel Bernard, instruktur pada pusat pendidikan penerbangan dimana ketiga “pilot” itu pernah menjalani latihan mereka, konon dikatakan, jangankan menerbangkan pesawat jet berbadan lebar dan canggih seperti Boeing-767, mereka itu untuk menerbangkan pesawat kecil tipe Cessna 172 saja secara solo, oleh para instukturnya dinilai tidak mampu (“... they had received pilot training . with courtesy of the CIA (?) . but were
considered by their flying instructors to be incompetent to fly even light single-engine planes”) (Ibid.)

Para analis yang meneliti kasus peristiwa serangan dan hancurnya gedungkembar WTC itu mencurigai pesawat-pesawat nahas itu kemungkinan dikemudikan dengan alat ‘remote control’ dan diledakkan secara otomatis dengan alat yang memang telah terpasang pada setiap pesawat komersial oleh aparat keamanan penerbangan federal sebagai tindakan berjaga-jaga menghadapi kemungkinan kontinjensi bilamana sewaktu-waktu pesawat dibajak.

Kesimpulan itu makin memperkuat analisis bahwa serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC., melibatkan “orang dalam”, yang mencakup personel angkatan udara Amerika Serikat, Pentagon, CIA, dan Mossad. Bersamaan dengan itu para ahli demolisi Amerika juga menengarai gedung WTC New York tersebut tidak mungkin akan runtuh sedemikian rapi tanpa merusak gedung-gedung di sekitarnya sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah Amerika Serikat, yaitu disebabkan oleh tabrakan pesawat.

Bila hanya oleh tabrakan pesawat, para ahli demolisi itu menyimpulkan gedungkembar WTC itu sebagian masih akan tersisa, meskipun mereka mempercayai gedung-kembar berlantai 110 setinggi 415 meter itu telah didesain dan dibangun oleh para arsitek Minoru Yamasaki, John Skilling, dan Leslie Robertson sebagai bangunan tahan gempa, tahan tornado, dan diilhami novel Tom Clancy yang mengisahkan hancurnya sebuah gedung pencakar langit karena ditabrak oleh sebuah pesawat teroris, maka ketiga arsitek kondang itu mendesain gedung-kembar WTC juga tahan tabrakan pesawat.

Menurut para ahli demolisi itu, cara runtuhnya dan habisnya gedung-kembar WTC itu memperlihatkan ciri-ciri, apa yang mereka sebut ‘controlled demolition’ dari dalam, oleh orang-orang yang paham benar tentang konstruksi bangunan WTC, dengan memakai teknik yang digunakan untuk menghancurkan gedung-gedung tua tanpa perlu membahayakan lingkungan di sekitarnya. Gedung Pentagon yang konon disebut-sebut ditabrak pesawat Boeing 767 juga tidak memperlihatkan adanya puing-puing pesawat, atau isi perut pesawat yang berserakan berupa barang-barang penumpang dan sebagainya sebagaimana layaknya bila ada pesawat yang jatuh. Pendek kata, semua itu dalam bahasa Amerika, cerita tentang ulah teroris Arab itu, “too good to be true” (Ibid.)

Hasil dari Komisi Penyelidikan Gabungan Kongres (Joint Congress Inguiry) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Juli 2003 baru-baru ini menyatakan, penyelidikan mereka tiba pada kesimpulan . “tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dengan Al Qaidah, dan tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dengan peristiwa serangan tanggal 11 September 2001”. Nasi telah menjadi bubur Iraq sejak 19 Maret 2003 telah menjadi negeri jajahan Amerika.

Dan tentang fitnah keempat, tuduhan Washington bahwa Iraq memiliki seabreg senjata-pemusnah-massal yang menjadi dasar alasan invasi Amerika menghabisi Iraq, ketika Richard Perle, tokoh Yahudi dan mantan ketua dan masih menjadi anggota dari the Defense Policy Board Pentagon, bersama tokoh Yahudi lain, Paul Wolfowitz, deputi menteri pertahanan . keduanya disebut-sebut berdiri di belakang pencetus keputusan untuk menyerang Iraq . ketika ditanya pers tentang senjata-senjata Iraq itu pada 24 Juli 2003, dengan enteng menjawab, “Well, kami tidak tahu kemana mencarinya, dan tidak akan pernah tahu dimana barang itu.” (William Pitt, ‘Though Heavens Fall’, July 25, 2003)

Perang Membasmi Terorisme Hanya Omong-Kosong * Perhatian besar tengah disorotkan kepada pertanyaan . mengapa Amerika Serikat melancarkan perang terhadap Iraq, dan pertanyaan itu juga ditujukan kepada Inggeris. Penjelasan resmi selama ini ialah bahwa setelah gedung-kembar World Trade Center di New York dihantam dan dihancurkan oleh dua buah pesawat bunuh-diri pada 11 September 2001, maka tindak balasan terhadap Al Qaidah yang berpangkalan di Afghanistan merupakan langkah pertama yang dinilai wajar dalam rangka perang global membasmi terorisme.

Kemudian, karena Saddam Hussein oleh Amerika Serikat dan Inggeris dituduh menyimpan senjata-pemusnah-massal (WMD), maka perang tentu saja harus diperluas ke Iraq. Namun teori tersebut tidak cocok dengan kenyataan yang ada. Kebenaran barangkali akan jauh lebih kelam.


Masyarakat dunia kini telah mengetahui bahwa sebuah cetak-biru untuk pembentukan Pax Americana yang mengglobal telah disiapkan untuk (waktu itu) menteri pertahanan Dick Cheney (sekarang wakil presiden), Donald Rumsfeld (sekarang menteri pertahanan), Paul Wolfowitz (deputi menteri pertahanan), Jeb Bush (adik Presiden Bush), dan Libby Lewis (kepala staf wakil presiden). Dokumen itu, yang diberi judul ‘Membangun Kembali Pertahanan Amerika’, selesai ditulis pada bulan September 2000 (satu tahun sebelum peristiwa 11 September 2001) oleh kelompok think-tank neo-kon, Project for the New American Century (PNAC).

Rencana dalam dokumen itu memperlihatkan niat dari kabinet Bush untuk menguasai kawasan Teluk secara militer tidak penting apakah Saddam Hussein masih berkuasa atau tidak. Dokumen itu menyatakan “sementara konflik di Iraq yang tak terselesaikan memberikan pembenaran, kebutuhan akan kehadiran dengan kekuatan yang memadai dari pasukan Amerika di kawasan Teluk melahirkan persoalan tentang rejim Saddam Hussein”.

Cetak-biru dari PNAC itu mendukung dokumen sebelumnya yang dipersiapkan oleh Paul Wolfowitz dan Libby Lewis, ‘To Rebuild America’s Defense’, yang menyatakan, Amerika Serikat harus “mencegah negaranegara industri maju sampai menantang kepemimpinan kita atau bahkan mencita-citakan untuk menjalankan peran regional atau global yang lebih besar”.

Dokumen itu menjelaskan tugas-tugas pemeliharaan perdamaian dunia “menuntut kepemimpinan politik Amerika Serikat ketimbang kepemimpinan PBB”.

Dokumen itu selanjutnya menyatakan “bahkan kalaupun Saddam Hussein tidak lagi berperan di arena”, pangkalan-pangkalan militer di Saudi Arabia dan Kuwait harus tetap dipelihara .. karena “Iran akan menjadi ancaman besar terhadap kepentingan Amerika Serikat seperti yang pernah dilakukan oleh Iraq”. Dokumen itu juga menyoroti Cina untuk dilakukan “perubahan rejim”, dengan menyatakan bahwa “sekarang sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran militer Amerika Serikat di Asia Tenggara”, yang kemudian menjadi dasar untuk membuka apa yang disebut oleh Presiden Bush “front kedua perang membasmi terorisme di Asia Tenggara”, yang menjadi pretext untuk masuk ke Asia Tenggara. Dalih “front kedua” itu disebutkan untuk menghancurkan organisasi teroris regional Jama’ah Islamiyyah.

Guna memperkuat tuduhan itu lalu “Bom Bali” dipasang, seperti halnya modus serangan WTC New York oleh “teroris”. Dokumen itu juga menyerukan perlunya pembentukan “kekuatan ruangangkasa” untuk mendominasi ruang-angkasa, dan penguasaan mutlak atas ruang-cybernet dalam rangka mencegah “musuh-musuh Amerika” memanfaatkan internet terhadap kepentingan Amerika Serikat. Dokumen itu kemudian menyarankan agar Amerika Serikat mempertimbangkan untuk mengembangkan senjata kuman “yang dapat menyerang sasaran jenis gen tertentu (dan) barangkali dapat mengubah peperangan kuman dari senjata teror menjadi alat politik yang bermanfaat”.

Akhirnya, dokumen yang disiapkan setahun sebelum peristiwa 11 September 2001, menunjuk Korea Utara, Suriah, dan Iran, sebagai rejim yang berbahaya . ‘axis of evil’ . dan menyatakan adanya rejim-rejim itu membenarkan akan kebutuhan “sistem komando dan kendali yang mendunia”. Dokumen itu benar-benar memuat cetak-biru penguasaan dunia oleh Amerika Serikat. Namun sebelum dokumen itu kita tepis sebagai mimpi fantasi kaum sayap kanan yang sebagian besarnya orang Yahudi, dokumen itu secara jelas menjadi sumber keterangan yang baik tentang apa sebenarnya yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah 11 September 2001
tentang thesis perang global terhadap terorisme yang digembar-gemborkan selama ini.

Hal ini akan terlihat dengan gamblang dalam beberapa tahun mendatang ini.

Pertama, sudah jelas para pejabat berwenang Amerika Serikat sama sekali, atau tidak banyak bertindak, untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001. Telah diketahui paling tidak ada 11 negara yang pernah memberikan peringatan dini kepada pemerintah Amerika Serikat tentang akan adanya serangan pada tanggal 11 September 2001.

Yang lebih aneh lagi . dilihat dari kaca-mata perang terhadap terorisme . pada hari dimana terjadi serangan 11 September 2001 itu, tampak reaksi yang sedemikian lambannya dari pemerintah dan pejabat berwenang Amerika Serikat. Pembajakan pesawat pertama diduga terjadi pada pukul 08.20 pagi, dan pesawat bajakan terakhir yang jatuh di Pennsylvania pada pukul 10.06 pagi.


Terhadap kenyataan tersebut tidak satu pun pesawat burusergap yang menyambang dari pangkalan angkatan udara Andrews, yang jauhnya hanya 15 kilometer dari ibukota Washington DC., sampai pesawat ketiga menabrak Pentagon pada pukul 09.38 pagi. Mengapa tidak pernah ada reaksi? Ada prosedur standar dari FAA (Federal Aviation Agency . Badan Penerbangan Federal AS) keharusan menyergap setiap pesawat yang dibajak. Antara bulan September 2000 sampai dengan bulan Juni 2001 saja tidak kurang dari 67 kali pesawat-pesawat buru-sergap dari NORAD (komando pertahanan udara Amerika Utara) menyergap dan menggiring pesawatpesawat yang mencurigakan, atau terbang melenceng dari jalur terbang yang telah ditetapkan. (AP, August 13, 2002)

Apakah kelambanan itu hanya karena ada tokoh-tokoh kunci yang mengabaikan, atau bersikap masa bodoh ? Atau apakah operasi pertahanan udara Amerika Serikat secara sengaja lengah pada tanggal 11 September 2001 itu ? Kalau demikian halnya, mengapa dan atas perintah siapa ? Mantan jaksa federal Amerika Serikat, John Loftus, mengatakan, “Informasi yang disampaikan oleh badanbadan intelijen Eropa sebelum tanggal 11 September 2001 demikian luasnya, sehingga sebenarnya tidak mungkin FBI atau pun CIA berlindung di belakang dalih bahwa hal itu sampai bisa terjadi karena ketidak-mampuan mereka”.

Juga tanggapan pemerintah Amerika Serikat terhadap peristiwa 11 September 2001 tidaklah lebih baik. Tidak telihat ada usaha yang sungguhsungguh dari pemerintah Amerika Serikat untuk menangkap Osamah bin Ladin. Pada akhir bulan September atau awal Oktober 2001 pimpinan dari dua partai Islam Pakistan telah merundingkan ekstradisi Osamah bin Ladin ke Pakistan untuk diadili sehubungan dengan kasus 11 September 2001. Namun seorang pejabat
pemerintah Amerika Serikat dengan ketus berucap, “Tindakan sembrono dapat menimbulkan resiko buyarnya usaha internasional sekiranya Osamah bin Ladin sampai tertangkap”.

Ketua Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat, Jenderal Myers, berkata lebih lanjut, “tujuan kita bukan untuk menangkap Osama bin Ladin” (AP, April 5, 2002). Pernyataan itu dikuatkan oleh seorang agen FBI dalam wawancara dengan teve ABC News, bahwa “FBI headquarters wanted no arrests” (FBI tidak berniat untuk menangkap siapa pun) (ABC News, December 19, 2002).


Dan pada bulan November 2001 angkatan udara Amerika Serikat mengeluh mereka telah 10 kali menemukan tempat bersembunyi pimpinan Taliban dan AI-Qaidah, tetapi mereka tidak bisa melakukan serangan karena izin untuk itu tidak dapat diperoleh pada waktunya (Majalah TIME, May 13, 2002).

Tidak satu pun dari bukti-bukti yang terkumpul ini, yang semuanya berasal dari para pejabat pemerintah sendiri, seperti gemuruhnya gembar-gembor tentang “perang membasmi terorisme”.


Daftar bukti itu sesuai benar dengan cetak-biru dari PNAC. Dari gambaran di atas tadi nampaknya apa yang disebut “perang membasmi terorisme” itu digunakan sebagian besar hanya sebagai isapan jempol untuk menutupnutupi tujuan strategis geopolitik Amerika Serikat yang sesungguhnya. Tony Blair sendiri tentang hal itu mengisyaratkan ketika ia memberikan kesaksian di depan Komisi Hubungan Majelis Rendah Inggeris, “Sejujurnya saja, kita tidak akan mungkin memperoleh persetujuan rakyat secara mendadak untuk melancarkan kampanye militer di Afghanistan, terkecuali dengan mengkaitkan alasannya dengan apa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001” (Sk. The Times, London, Juli 17, 2002).

Menteri pertahanan Donald Rumsfeld sama gigihnya mencari-cari alasan tentang invasi ke Iraq, sehingga pada 10 kali peristiwa terpisah meminta kepada CIA untuk menemukan bukti yang dapat menghubungkan Iraq dengan perisitwa 11 September 2001. CIA kembali setiap kali dengan tangan hampa (Majalah TIME, May 13, 2002).

Peristiwa 11 September 2001 menciptakan dalih yang sangat pas bagi pelaksanaan rencana PNAC. Bukti yang kini terungkap sangat jelas bahwa rencana tindakan militer atas Afghanistan dan Iraq, bahkan negara-negara di Timur Tengah lainnya, telah dirancang jauh sebelum terjadi peristiwa 11 September 2001. Sebuah laporan yang disiapkan untuk pemerintah Amerika Serikat oleh Baker Institute of Public Policy yang diterbitkan pada bulan April 2001 menyatakan, “Amerika Serikat terperangkap oleh dilemma enerjinya. Iraq menjadi faktor yang
berpengaruh mendestabilisasi ... aliran minyak ke pasar-pasar internasional dari Timur Tengah”.

Dokumen itu diserahkan kepada kelompok tugas untuk penanggulangan enerji pada kantor wakil presiden Dick Cheney, laporan itu merekomendasikan, bahwa bila aliran minyak itu sampai terganggu, maka hal itu akan dapat menjadi resiko yang tidak bisa dipikul oleh pemerintah Amerika Serikat, karena itu “intervensi militer” adalah sesuatu yang diperlukan (Tabloid Sunday Herald, October 6, 2002).

Bukti lainnya sehubungan dengan rencana invasi ke Afghanistan juga ada. BBC melaporkan (September 18, 2001) bahwa Niaz Niak, mantan menteri luar-negeri Pakistan dibisiki oleh seorang pejabat Amerika Serikat dalam sebuah pertemuan di Berlin pada medio-Juli 2001 (dua bulan sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001) bahwa “tindakan militer terhadap Afghanistan akan dilakukan pada medio- Oktober”. Sampai dengan bulan Juli 2001 pemerintah Amerika Serikat masih memandang Taliban sebagai sumber stabilitas di Asia Tengah yang memungkinkan untuk membangun jalur pipa hidro-karbon dari ladang-ladang minyak dan gas bumi di Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakhstan, melalui Afghanistan dan Pakistan, menuju pantai Lautan Hindia.

Tetapi ketika Taliban menolak syarat-syarat yang disorongkan, wakil Amerika Serikat dalam perundingan itu mengancam dengan angkuh, “atau anda menerima tawaran kami berupa karpet emas, atau kami akan kubur anda dengan karpet bom” (Inter Press Service, November 15, 2001).


Dengan latar-belakang semacam ini, tidaklah mengagetkan bila beberapa kalangan memahami mengapa Amerika Serikat tidak terlalu bergairah mencegah terjadinya peristiwa 11 Septeber 2001 yang memang diciptakan sebagai dalih yang dianggapnya paling pas untuk menghukum Afghanistan dalam sebuah perang yang telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya.


Sebenarnya telah ada preseden sebelum ini. Arsip nasional Amerika Serikat mengungkapkan bahwa Presiden Franklin D. Roosevelt pernah menggunakan pendekatan persis seperti ini dalam hubungan dengan peristiwa Pearl Harbor pada 7 Desember 1941.

Beberapa peringatan pendahuluan akan adanya serangan terhadap Pearl Harbor telah diterima oleh pemerintah di Washington, tetapi informasi itu tidak pernah diteruskan kepada armada Amerika Serikat di Pasifik. Kemarahan nasional yang timbul akibat peristiwa tersebut berhasil menggerakkan rakyat Amerika yang sebelumnya enggan terjun ke dalam Perang Dunia ke-2 yang terjadi di Eropa.

Cetak-biru PNAC yang disiapkan pada bulan September 2000 menegaskan bahwa proses mentranformasi Amerika Serikat menjadi “kekuatan masa depan yang dominan” hanya bisa terjadi dalam tempo yang lama, kecuali bilamana ada “suatu bencana dan peristiwa yang menjadi katalisator . layaknya sebuah Pearl Harhor yang baru”.

Serangan pada 11 September 2001 memungkinkan pemerintah Amerika Serikat menekan tombol “go” melaksanakan strategi sesuai agenda PNAC yang secara politik yang normal mustahil bisa diimplementasikan.

Motivasi yang mendorong tabir-asap politik itu ialah baik Amerika Serikat maupun Inggeris telah mulai kehabisan suplai enerji hidro-karbon yang aman. Menjelang tahun 2010 Dunia Islam akan menguasai sebanyak 60% dari produksi minyak dunia, dan yang lebih penting lagi mereka menguasai 95% dari kapasitas cadangan minyak bumi dunia yang tersisa untuk ekspor. Sejak dasawarsa 1960-an kebutuhan kian meningkat sementara suplai kian tipis.

Keadaan ini membuat Amerika Serikat dan Inggeris makin tergantung dari suplai minyak luar-negeri. Amerika Serikat yang pada 1990 produk minyak dalam negerinya hanya mampu menutup 57% dari tuntutan kebutuhan, sementara ladang-ladang dalam-negerinya hanya menghasilkan tidak lebih dari 39% kebutuhan pada 2010.

Menteri enerji Inggeris menyatakan negeri itu akan menghadapi masalah suplai yang lebih parah, bahkan telah dimulai pada tahun 2005. Pemerintah Inggeris telah menyiapkan kebijakan dimana 70% dari kebutuhan listriknya terpaksa akan menggunakan gas bumi sebagai pengganti minyak mulai tahun 2020, dan 90% dari gas bumi tersebut harus diimpor dari luar.

Dalam hubungan itu patut disimak Iraq menyimpan 110 trilyun cubic-feet cadangan gas bumi di luar cadangan minyaknya. Sebuah laporan dari komisi Kongres untuk urusan kepentingan nasional Amerika Serikat melaporkan pada bulan Juli 2000, yang menjadi dasar ditulisnya dokumen PNAC, bahwa sumber baru untuk suplai dunia yang paling menjanjikan ada di kawasan Cekungan Kaspia, dan sumber ini akan memungkinkan Amerika Serikat melepaskan diri dari ketergantungannya pada minyak Saudi Arabia..

Dalam rangka melakukan diversifikasi rute untuk kepentingan pengamanan dan pemasaran minyak Kaspia, sebuah jalur pipa diusulkan untuk dibangun ke arah barat dari Turkmenistan melalui Azerbaidjan dan Georgia menuju pelabuhan laut Turki di Ceyhan. Sedang sebuah jalur lagi diusulkan ke arah timur dari Turkmenistan melalui Afghanistan dan Pakistan dan berakhir di perbatasan India-Pakistan. Jalur ini dapat diperpanjang terus ke India yang juga kelaparan akan minyak, terutama untuk menyelamatkan pusat tenaga listrik milik Enron . yang modalnya dimiliki keluarga Bush . di Dabhol terletak di pantai barat India, dimana Enron telah menanam modal yang cukup besar $3 milyar, yang nasibnya ditentukan oleh tersedianya minyak bumi dengan harga yang murah.

Inggeris juga tidak lepas dari ramai-ramai ikut keroyokan untuk menguasai cadangan hidro-karbon dunia yang masih tersisa, dan hal ini menjelaskan sebagiannya mengapa Inggeris dengan bersemangat mendukung aksi-aksi militer Amerika Serikat di Asia Tengah dan Timur Tengah. Lord Browne, bos BP (dulu namanya British Petroleum, sekarang berganti menjadi “Beyond Petroleum”, karena Inggeris untuk kebutuhan masa depannya tidak hanya membutuhkan minyak, tetapi juga gas bumi, batu-bara, dan apa saja yang dapat dijadikan substitusi enerji minyak bumi), memperingatkan Washington agar jangan mengangkangi Iraq hanya untuk perusahaan-perusahaannya sendiri bila Perang Iraq berakhir (Sk. The Guardian, London, October 30, 2002).

Ketika menteri luar negeri Inggeris menemui Kolonel Ghaddafi di khaimahnya di Lybia pada bulan Agustus 2002, ia dilaporkan berkata, “Inggeris tidak menghendaki kalah dengan negara-negara Eropa lainnya yang tengah berebut bilamana saatnya tiba untuk mendapatkan kontrak pembagian ladang-ladang minyak yang menjanjikan keuntungan besar” dengan Lybia (BBC Online, August 10, 2002).


Kesimpulan dari seluruh analisis yang diangkat dari artikel tulisan mantan menteri Inggeris Michael Meacher di atas ialah bahwa apa yang disebut sebagai “perang global untuk menghabisi terorisme” mengusung ciri-ciri sebuah mitos politik yang diprogandakan untuk melicinkan jalan bagi sebuah agenda yang lain sama sekali . yakni, aspirasi Amerika Serikat untuk membangun hegemoni mendunia, dilakukan dengan cara kekerasan dalam rangka menguasai segenap pasokan minyak dan gas bumi yang dibutuhkan bagi hegemoninya tersebut. *(Michael Meacher, ‘This War on Terrorism is Bogus’, kolom yang ditulisnya dalam koran The Guardian, London, edisi September 6, 2003)

Presiden Bush Mengakui Merancang Invasi ke Afghanistan dan Iraq Jauh Sebelum Peristiwa 11 September * Mantan menteri keuangan dan ketua tim ekonomi pemerintahan Bush, Paul O’Neill, pada awal tahun 2004 menulis sebuah buku memoar, ‘The Price of Loyalty’, tentang masa jabatannya dalam pemerintahan George W. Bush.


Tidak terlalu mengejutkan ketika ia menyebut bahwa Presiden Bush telah mengeluarkan berbagai perintah kepada anggota dewan keamanan nasionalnya nyaris begitu ia dilantik pada bulan Januari 2001 (kurang lebih delapan bulan sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001 yang dijadikan alasan untuk menghancurkan Afghanistan dan menjajah Iraq) agar mengambil apa yang disebutnya “tindakan” yang perlu.

Ternyata perintah itulah yang kemudian dijual kepada publik Amerika dan dunia sebagai “tindakan balasan” terhadap para “teroris” dan “negara-negara yang membahayakan” keamanan nasional Amerika. Dalam kesempatan wawancara Paul O'Neill dengan koresponden teve CBS, Lesley Stahl, dalam acara 60 Minutes pada tanggal 11 Januari 2004 mengulang kembali pernyataannya berkenaan dengan perintah Presiden Bush untuk menggulingkan Saddam Hussein sebagai prioritas pertama kebijakan nasional Amerika jauh sebelum peristiwa 11 September 2001.


Menurut Paul O’Neill, dalam sidang tersebut Bush menyatakan, “Dari awal kita meyakini Saddam Hussein itu orangnya jahat, karenanya ia harus dienyahkan”. Presiden Bush selanjutnya menegaskan, “Bagi saya, berdasarkan pemahaman tentang tindakan pre-emptif, Amerika Serikat memiliki hak unilateral untuk memutuskan apa saja yang dianggap perlu, hal itu merupakan lompatan besar”.

Juru-bicara Presiden Bush, Scott McClellan, menyanggah laporan dan kecaman O’Neill, katanya, “Presiden telah berusaha mencari segala jalan yang mungkin untuk memecahkan situsi di Iraq secara damai. Tetapi ...” kata McClellan selanjutnya, “Saddam Hussein memang orang berbahaya sejak lama”.

Ternyata atas tuduhan yang dicoba diredam oleh para pejabat Gedung Putih, oleh Presiden Bush malah diakui sendiri ketika bertemu dengan Presiden Mexico Vincente Fox pada tanggal 12 Januari 2004. Kata Bush, “Seperti halnya pemerintahan sebelum saya, kami memang bertekad untuk menggulingkan rejim (Saddam Hussein)… Kami hanya menyempurnakan kebijakan sebelumnya, dan kemudian peristiwa 11 September terjadi, dan sebagai Presiden Amerika Serikat, kewajiban saya yang paling mulia adalah bagaimana melindungi keamanan bagi rakyat Amerika. Saya memikul tugas itu dengan sangat sungguh-sungguh dan kami bukan hanya berurusan dengan Taliban, kami bekerja-sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
masyarakat internasional, dan membuat jelas Saddam Hussein harus dilucuti”. Ketika ia ditanya bahwa Amerika Serikat justeru melucuti Saddam tanpa menggubris peringatan dari dunia internasional, Bush menjawab, “Bukankah sekarang ia sudah tidak lagi berkuasa dan dunia kini merasa lebih aman”.

Paul O’Neill menyamakan sidang kabinet Presiden Bush laksana “orang tuli dalam ruangan yang penuh dengan orang tuli”. Kecaman Paul O’Neill memang membuat kaget Washington yang selama ini menyangka orangorang dekat Bush terdiri dari mereka yang kesetiaannya kepada Bush tidak diragukan. O’Neill diberhentikan pada bulan Desember 2002 sebagai dalam rangka reshuffle tim ekonomi yang berbeda pendapat mengenai kebijakan ekonomi yang dijalankan Presiden Bush (Margaret Neighbour, ‘Bush Admits He Wanted Regime Change Before 11 September’, The Scotsman, January 13, 2004).

Kesimpulan

Apa yang selama ini menjadi keragu-raguan telah dibuat jelas oleh berbagai tokoh dan Joint Senate Investigation Commission, bahkan oleh Presiden Bush sendiri yang menjadi sumber kemelut yang berasal dari pernyataannya sendiri “perang membasmi terorisme” . bisnis minyak dan terorisme oleh sebuah negara yang mengklaim diri sebagai imperium dunia yang baru, ternyata saling berkait satu dengan lain seperti benang dengan kelindannya.


Bagi kalangan yang selama ini membuta-tuli mengekor kepada Bush karena takut dengan ancaman “If you’re not with us, you’re against us”, atau mereka yang memanfaatkan kesempatan untuk menangguk di air keruh, melalui berbagai sumber yang merupakan tokoh-tokoh negara dari Inggeris dan Amerika Serikat sendiri yang sepenuhnya dapat dipercaya, kini menjadi jelas, bahwa selama ini Dunia Islam dan kaum muslimin hanyalah menjadi korban fitnah dari suatu persekongkolan yang keji.

Artikel ditulis oleh ZA Maulani dalam bedah buku Stranger than Fiction, Independent Investigation of 9-11 and The War on Terrorism karya DR. Albert D. Pastore, Ph.D. pada tanggal 8 April 2004 di musholla Al Barokah Gd. Cyber.


Musholla Al Barokah Gd. Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta 12710 18

Rabu, 26 Agustus 2009

Abdullah bin Mughafal

Namanya:
Abdullah bin Mughaffal bin Abdu Ghunmin atau Ibnu Nahmin bin Afif bin As-Ham bin Rabi'ah bin Azdar atau Ibnu 'Adi bin Tsa'labah bin Dzuaib atau Zuaid bin Sa'ad bin Ida bin Utsman bin 'Amr bin Thabikhah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar Al-Bashri. Beliau terkenal dengan nama aslinya ini.
Nama panggilannya ialah Abu Sa'ied atau Abu 'Abdirrahman atau Abu Ziad. Karena beliau memang mempunyai anak-anak yang bernama Sa'id, Abdurrahman,, Ziad, dll berjumlah tujuh orang.

Kehidupannya:
Beliau termasuk golongan shahabat yang ikut melakukan Bai'atur-Ridhwan atau bai'atus-Syajarah yaitu sumpah setia yang dilakukan di bawah sebatang pohon pada satu tempat yang bernama Hudaibiah dalam tahun ke tujuh Hijriyyah. Beliau sendiri bercwerita tentang peristiwa yang sangat penting itu, "Aku termasuk di antara orang-orang di bawah mana Nabi saw mengambil bai'ah atau perjanjian sumpah setia dari para shahabat.
Sejak itu beliau tidak pernah absen lagi dalam perjuangan menegakan dan meyebarkan ajaran agama Islam di mana-mana bersama-sama dengan Nabi saw hingga wafatnya, kecuali ghazwah Tabuk.

Dalam persiapan untuk melakukan perang/ghazwah Tabuk yaitu suatu peperangan yang letak medan pertempurannya sangat jauh lagi pula dilakukan dalam musim panas yang sangat membakar, musim paceklik yang amat mencekik dan hampir pula dengan musim panen tanam tumbuhan yang menggairahkan, ternyata Abdullah bin Mughaffal ini semakin hari semakin tambah bingung dan bimbang. Lebih-lebih setelah hampir tibanya hari pemberangkatan. Sebab ia dalam usahanya untuk mendapatkan kendaraan dan ongkos tetap gagal tidak berhasil, mengingat jarak yang dituju dan telah ditetapkan itu sangat jauh.

Tapi karena dorongan imannya yang sempurna dan keyakinan yang benar, ia berusaha terus dan tidak berputus asa. Dalam hati kecilnya hanya terguris harapan agar dapat mati syahid atau tersebarnya agama Islam di samping harapan terbesar ialah dapat tetap ikut berperang sabil bersama-sama dengan Rasulullah saw.
Namun setipa usaha yang dicobanya tetap buntu dan tidak berhasil. Akhirnya ia mencoba memohon bantuan kepada Nabi saw sendiri untuk kalau-kalau dapat mengusahakan kendaraan. Tapi betapa kecewanya ketika mendengar jawaban beliau, "Aku juga tidak dapat mengusahakan kendaraan-kendaraan buat mengangkut kalian." Akhirnya ia hanya dapat melampiaskan kekesalan hatinya untuk mengadu halnya kepada Tuhannya dengan cara menangis. Ia pun menangis dan menangis.

Alangkah sedih fikirnya ketika menyaksikan orang-orang dan teman-temannya yang mampu, berbaris dan bershaf-shaf, berderap-derap dengan langkah yang teratur mengikuti komando Nabi saw keluar menuju medan laga untuk fi sanilillah sedang ia sendiri tidak berkemampuan dan tidak mempunyai kendaraan. Ia sedih, karena harus tinggal dalam kota bersama-sama dengan orang-orang perempuan, anak-anak kecil yang belum memenuhi syarat untuk mengikuti perang sabil. Orang-orang tuna netra, orang-oarng sakit, dll. Tatkala lamunannya sampai ke situ, mengucurkan air matanya untuk kesekian kalinya.

Untuk seketika sedihnya menjadi sirna waktu mendengar bunyi ayat yang baru diturunkan kepada Nabi saw, "Dan tiada (pula terkena dosa) atas orang-orang yang apabila datang kedapamu supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, 'Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.' Maka mereka kemabali sedang air mata bercucuran karena kesedihan lantaran mereka tidak memperoleh apa yang mereka nafkahkan atau ongkos." (QS. At-Taubah:92)
Untuk sementara ia senang karena ia termasuk di antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat itu. Namun, ia tetap masih bersedih hati lantaran tidak dapat ikut bertempur dan tidak dapat mengikuti jejak Nabi saw yang sangat dicintainya itu.

Dalam Zaman Khulafa' Rasyidin:
Demikian kehidupan Abdullah hingga wafatnya Nabi saw. Maka dalam masa Khulafah Abu bakar, ia tetap ikut dalam peperangan untuk menumpas kaum-kaum yang berkepala batu, murtad dan tidak mau mengeluarkan zakat.
Dalam zaman khalifah-khalifah Umar dan Usman, juga ia tidak ketinggalan dalam usaha menyebarkan Islam ke daerah-daerah timur tengah lainnya.
Ketika daerah Iraq telah di Islam-kan khalifah Umar secara beruntun mengirimkan sepuluh orang Ahli Fiqih untuk mengajarkan agama di Bashrah. Maka terdapatlah di antara hadits-hadits yang diriwayatkannya terdapat perawi dari ulama'-ulama' Bashrah atau Kufah.

Dalam perjuangannya yang gigih untuk memasukan Islam ke daerah Tustar, beliau berhasil sebagai orang yang pertama sekali memasuki pintu gerbang kota itu.

Demikianlah satu demi satu negeri dan daerah protektorat Romawi di Timur Tengah jatuh ke tangan umat Islam, berkat usaha beliau dengan kawan-kawannya di bawah pimpinan panglima-panglima yang terkenal semisal Abu 'Ubaidah (Amir bin Jarrah, Khalid bin Walid, dll).
Dalam masa khalifah Ali bin Abi Thalib, ia memilih tempat tinggal dan berhijrah ke Bashrah. Di sana ia memiliki sebuah rumah yang dibangunnya dekat masjid. Pada rumahnya dan di daerah itulah ia menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan giat mengajar dan beribadah lainnya hingga ia wafat dalam tahun 60 H atau tahun 59 pada masa akhir hidupnya khalifah Mu'awiah bin Abi Sufyan.

Jenazah beliau untuk memenuhi washiatnya sendiri, telah disembahyangkan atasnya oleh shahabat Abu Barzah Al-Aslami ra.

Riwayatnya:
Atas jasa-jasanya maka Allah SWT telah mengkaruniai beliau nama yang kekal abadi termaktub dalam kitab-kitab hadits sebagai sumber sejumlah 43 hadits. Bukhori dan Muslim bersepakat atas empat hadits daripadanya, sedangkan Bukhori sendiri saja hanya satu hadits dan Muslim sendiri juga satu Hadits.
Di antara orang-orang atau ulama Tabi'in yang menerima hadits riwayat beliau ialah Hasan Al-Bashri, dll.

Oleh : Siw Haa
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Imam Jalaluddin As Suyuthi

MENGENAL IMAM AL-HAFIZH JALALUDDIN ABDURRAHMAN AS-SUYUTI

Nama, Garis keturunan, dan nisbat yang dimilikinya:

As-Sayuthi nama lengkapnya adalah Al-Hafizh Abdurrahman ibnu Al- Kamal Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiq ad-Din Ibn Al-Fakhr Utsman bin Nazhir ad-Din al-Hamam al-Khudairi al-Sayuthi. Penulis Mu’jam al-Mallifin menambahkan: Athaluni al-Mishri Asy-Syafi’i, dan diberi gelar Jalaluddin, serta di panggil dengan nama abdul Fadhal.

Ia berasal dari keturunan non arab, yang dalam hal ini asy-sayuthi sendiri pernah mengatakan:”Ada seorang yang bisa saya percaya pernah menuturkan kepada saya, bahwa dia pernah mendengar ayah saya mengatakan bahwa kakek buyut ayah adalah orang non arab dari timur. Ia menghubungkan garis keturunannya demikian: ”Kakek buyut saya adalah Damam ad-Din, seorang ahli hakikat dan guru tarekat. Darinya lahir tokoh-tokoh dan pemimpin, antara lain ada diantara mereka yang menjadi kepala pemerintahan di daerahnya, ada pula yang menjadi Hakim Perdata, dan ada pula yang menjadi pedagang. Namun tidak ada seorangpun diantara mereka yang saya ketahui menekuni ilmu secara sungguh-sungguh kecuali ayah saya.

Kelahiran dan pertumbuhannya:

As-sayuthi dilahirkan di wilayah Asyuth sesudah magrib pada malam ahad, bulan Rajab 849 H, begitulah ia mengatakannya sendiri, dan para sejarawan sepakat tentang tahun kelahiran ini, kecuali ibnu Iyas dan Ismail Pasha al-Bagdadi yang menganggap bahwa kelahiran as-Sayuthi adalah pada bulan Jumadil akhir. Ia dibesarkan dalam keadaan yatim piatu. Ayahnya meninggal dunia pada malam senin, 5 Safar 855 H, pada saat ia masih berusia 6 tahun.

Perjalanan dan masa menuntut ilmu:

Pada usia yang amat sangat muda ia telah hafal Al-Quran, dan hafalan ini menjadi sempurna betul ketika ia menginjak usia 8 tahun. Setelah itu ia lanjutkan dengan menghafal kitab-kitab semisal al-‘Umdab, Minhaj fiqh, Al-Ushul, dan Al-fiyah ibn Malik.

Selanjutnya ia menekuni berbagai bidang ilimu dan saat itu usianya baru menginjak usia 16 tahun, yakni pada tahun 864 H. Ia mempelajari Fiqh dan Nahwu dari beberapa guru, dan mengambil ilmu Faraid dari ulama di jamannya yakni Syeikh Syihab ad-Din asy-Syarmasahi, lalu menimba ilmu Fiqh kepada syeikhul Islam Al-Balqini sampai yang disebut terakhir ini wafat, dan dilanjutkan oleh putranya ‘Ilmuddin Al-Balqini. Ia kemudian berguru kepda Al-Ustadz Muhyiddin Al-Kafayaji selama 14 tahun. Dari ulama ini ia menyerap ilmu Tafsir dan Ushul, bahasa dan ma’ani, lalu menyusun buku-buku ringkas tentang ilmu-ilmu ini.

Ia banyak melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, antara lain ke kota Al-Fayun, Al-Mihlah, Dimyat, lalu menuju Syam dan Hijaj, dan seterusnya ke Yaman, India dan al-Maghrib (Maroko).
As-Sayuthi kemudian dikenal dengan orang yang begitu dalam ilmunya, dalam tujuh disiplin ilmu : Tafsir Hadist, Fiqh , Nahwu, Ma’ani, Bayan dan Badi’, melalui para ahli bahasa dan Balaqhah.

Kegiatannya menuntut ilmu:

Di dalam usahanya menuntut ilmu as-Sayuthi telah mendatangi syeikh Safuddin Al-Hanafi dan berulangkali mengkaji kitab Al-Mukasyaf dan At-Taudhih. Ia pernah pula dikirim orang tuanya mengikuti majelis yang diselenggarakan oleh al-Hafidz ibnu Hajar, dan mengkaji shahih Muslim sampai hampir tamat. Kepada ash-Shyairafi di samping kita-kitab lain seperti As Syifa’, Al-Fiyah ibnu Malik, Syarh-Asyudur, al Mughni - sebuah kitab Ushul Fiqh Mazhab Hanafiyah dan syarhnya pada Syams al- Marzabani al-Hanafi, dan mendengarkan pengajian kitab al-Mutawassith serta as-Safiyah berikut syarhnya yang ditulis oleh al-Jarudi yang disampaikan oleh ulama ini.

Selain itu, juga mempelajari Alfiah karya al-‘Iraqi, dan menghadiri pengajian ilmiah yang diberikan al-Balqini. Dari ulama yang disebut terakhir itu, as-Sayuthi menyerap ilmu yang tidak terhingga jumlahnya. Sesudah itu ia tinggal bersama asy-Syaraf al-Manawi, hingga ulama ini meningggal dunia. Dari ulama ini as-Sayuthi menimba ilmu yang tidak terbilang juga banyaknya.

Lalu secara tetap pula mengikuti pengajian yang diberikan oleh Saifudin muhammad bin muhammad al-Hanafi, serta pengajian-pengajian yang diberikan oleh al-'alamah asy-Syamani dan al-Kafiji.

Kendatipun demikian, ia tetap mengatakan bahwa ia tidak banyak mempelajari ilmu-ilmu riwayat, melebihi perhatiannya terhadap masalah yang dianggapnya paling penting dalam disiplin ilmu ini, yakni ilmu dirayah hadits.

Guru, murid dan sejawatnya:

as-Sayuthi mengakui sekitar seratus lima puluhan orang ulama sebagai gurunya, dan yang menonjol diantaranya adalah:
Ahmad zas-Syarmasahi
'Umar al-Balqini
Shalih bin Umar bin Ruslan al-Balqini
Muhyidin al-Kafiji
Al-Qadhi syarafudin al-Manawi

Sementara itu beribu-ribu orang telah pula berguru kepada dirinya, dan diantara mereka yang paling menonjol antara lain:
Syamsudin asy-sakhawi.
'Ali al-Asymuni.

Akidahnya:
Dari karangan-karangan yang membela para sahabat dan tetap berpijak pada sunnah, maka tampaklah bahwa mazhab yang dipilihnya adalah mazhab ahlus sunnah. Tidak ada hal lain yang dapat diketahui tentang dirinya dalam persoalan ini, selain kecendrungannya kepada tasawuf yang telah dirintis oleh kakek buyutnya Hamam.

Kendatipun demikian, ilmunya yang demikian mendalam tentang Al-Qurn dan sunnah, telah mampu membentengi dirinya dari penyimpangan-penyimpangan yang banyak dialami oleh para pengikut aliran sufi, yang jauh menyimpang dari Al-Quran dan Sunnah.

Pengaruh intelektualitasnya:
Begitu usianya menginjak 40 tahun, ia segera mengasingkan diri dari keramaian, dan menunjukkan perhatian dalam bidang karang-mengarang, sehingga hanya dalam waktu 22 tahun saja ia telah membanjiri perpustakaan-perpustakaan Islam dengan karya-karyanya dalam berbagai bidang, ilmu dalam jumlah sekitar 600 judul, semisal tafsir dan ilmu tafsir, Hadits dan ilmu Hadits, Fiqh dan Ushul Fiqh, bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya, sirah Nabawiyah, dan Tarikh.

Penullis hidayah al-A’rifin mengemukakan sejumlah besar karangan yang telah ditulis oleh asy-Sayuthi yan jumlahnya mendekati apa yang kami sebutkan itu, yang diakui kebenarannya oleh yang bersangkutan.

Cukuplah sekiranya di sini bisa kami sebutkan saja beberapa diantara karya-karyanya yang paling menonjol dalam ilmu Hadits lantaran kaitannya yang demikian erat dengan topik kajian kita sekarang ini.

Pertama: tentang Hadits
Zahr ar-Rabbiy “Ala Mujtaba Li an-Nasa’i
Al-Hawalik ‘Ala Muwaththa’ Malik.
Marqat ash-Shu’ud Syarkh Sunan Abi Dawud.
Jam’u aljawami’ Aw al-jami’ al-Kabir.
al-Jami’ ash-Shaghir wa Dzailuh.

Kedua: Dalam ilmu Hadits.
Tadrib ar-Rawi bi syarkh Tawqrib an-Nawawi.
Al al-fiyah fi al-Hadits.
As’af al-mabtha’ bi Rijal al-Muhtha’.
Durr as-sahabah Fi Man Nazal al-Nishir Min al shahabah.
Natsr al-“Abir fi Takhrij Ahadits asy-syarkh al-Kabir

Wafatnya:

Hidup syaikh as-syayuthi sarat dengan kegiatan menghimpun ilmu dan mengarang. Untuk itu ia mengeram dirinya di rumah dalam kamar khusus yang di sebut Raudhah al-Miqyas dan hampir-hampir tidak beranjak dari situ. Ia terus menerus terlibat dalam hal ini hingga akhir hayatnya sesudah menderita sakit dan kelumpuhan total pada tangan kirinya selama seminggu. Nampaknya karena sakit yang di derita inilah ia lalu meninggal dunia pada hari kamis, 19 Jumadil Ula 911 H di tempat kediamannya, lalu dimakamkan di Hausy Qousun.

Dikutip dari: Proses lahirnya sebuah Hadits karya: Al-Hafizh Jalauddin as-Sayuthi, hal:41-45. Penerbit: PUSTAKA, Bandung, 1406 H – 1985 M.

Abdurrahman bin Auf

Abdurrahman bin Auf

Abdurrahman bin Auf termasuk kelompok delapan sahabat yang mula-mula masuk Islam. Ia termasuk sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasululah. Selain itu, ia juga termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah dalam pemilihan khalifah menggantikan Umar bin Khaththab. Ia adala seorang mufti yang dipercaya Rasulullah untuk berfatwa di Madinah.

Abdurrahman bin Auf masuk Islam sebelum Rasulullah Saw melakukan pembinaan di rumah Arqam bin Abil Arqam, kira-kira dua hari setelah Abu Bakar masuk Islam.
Ketika hijrah ke Madinah, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Rabi' Al-Anshari, salah seorang kaya yang pemurah di Madinah. Abdurrahman pernah ditawari Sa'ad untuk memilih salah satu dari dua kebunnya yang luas. Tapi, Abdurrahman menolaknya. Ia hanya minta kepada Sa'ad ditunjuki lokasi pasar di Madinah.

Sejak itu, Abdurahman bin Auf berprofesi sebagai pedagang dan memperoleh keuntungan yang cukup besar. Omset dagangannya pun makin besar, sehingga ia dikenal sebagai pedagang yang sukses.

Tapi, kesuksesan itu tak membuatnya lupa diri. Ia tak pernah absen dalam setiap peperangan yang dipimpin Rasulullah. Suatu hari, Rasulullah Saw. berpidato membangkitakn semangat jihad dan pengorbanan kaum Muslimin. Beliau berkata, "Bersedekahlah kalian, karena saya akanmengirim pasukan ke medan perang."

Medengar ucapan itu, Abdurrahman bin Auf bergegas pulang dan segera kembali ke hadapan Rasulullah. "Ya, Rasulullah, saya mempunyai uang empat ribu. Dua ribu saya pinjamkan kepada Allah, dan sisanya aya tinggalkan untuk keluarga saya," ucap Abdurrahman. Lalu Rasulullah mendoakannya agar diberi keberkahan oleh Allah Swt.

Ketika Rasulullah Saw. membutuhkan banyak dana untuk menghadapi tentara Rum dalam perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu pelopor dalam menyumbangkan dana. Ia menyerahkan dua ratus uqiyah emas. Melihat hal itu, Umar bin Khaththab berbisik kepada Rasulullah Saw, "Agaknya Abdurrahman berdosa, dia tidak meninggalkan uang belanja sedikit pun untuk keluarganya."

Maka, Rasulullah pun bertanya kepada Abdurrahman, "Adakah engkau tinggalkan uang belanja untuk keluargamu?" Abdurrahman menjawab, "Ada, ya Rasulullah. Mereka saya tinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripda yan gsaya sumbangkan. "Berapa?" Tanya Rasulullah.Abdurrahman menjawab, "Sebanyak rizki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah." Subhanallah.

Sejak itu, rizki yang dijanjikan Allah terus mengalir bagaikan aliran sungai yang deras. Abdurrahman bin Auf kini telah menjadi orang terkaya di Madinah.
Suatu hari, iring-iringan kafilah dagang Abdurrahman bin Auf yang terdiri dari 700 ekor unta yang dimuati bahan pangan, sandang, dan barang-barang kebutuhan penduduk tiba di Madinah. Terdengar suara gemuruh dan hiruk-pikuk, sehingga Aisyah bertanya kepada seseorang, "Suara apakah itu?" Orang itu menjawab, "Iring-iringan kafilah dagang Abdurrahman."Aisyah berkata, "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepada Abdurrahman di dunia dan akhirat. Saya mendengar Rasulullah bersabda bahwa Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak."
Orang itu langsung menemui Abdurrahman bin Auf dan menceritakan apa yang didengarnya dari Aisyah. Mendengar hal itu, ia pun bergegas menemui Aisyah. "Wahai Ummul Mukminin, apakah ibu mendengar sendiri ucapan itu dari Rasulullah?" "Ya," jawab Aisyah."Seandainya aku sanggup, aku ingin memasuki surga dengan berjalan. Sudilah ibu menyaksikan, kafilah ini dengan seluruh kendaraan dan muatannya kuserahkan untuk jihad fi sabilillah."

Sejak mendengar bahwa dirinya dijamin masuk surga, semangat berinfak dan bersedekahnya makin meningkat. Tak kurang dari 40.000 dirham perak, 40.000 dirham emas, 500 ekor kuda perang,dan 1.500 ekor unta ia sumbangan untuk peruangan menegakkan panji-panji Islam di muka bumi. Mendengar hal itu, Aisyah mendoakan, "Semoga Allah memberinya minum dengan
air dari telaga Salsabil (nama sebuah telaga di surga)."

Menjelang akhir hayatnya, Abdurrahman pernah disuguhi makanan oleh seseorang -- padahal ia sedang berpuasa. Sambil melihat makanan itu, ia berkata, "Mush'ab bin Umair syahid di medan perang. Dia lebih baik daripada saya. Waktu dikafan, jika kepalanya ditutup, makakakinya terbuka. Dan jika kakinya ditutup, kepalanya terbuka. Kemudian Allah membentangkan dunia ini bagi kita seluas-luasnya. Sungguh, saya amat takut kalau-kalau pahala untuk kita disegerakan Allah di dunia ini." Setelah itu, ia menangis tersedu-sedu.

Abdurrahman bin Auf wafat dengan membawa amalnya yang banyak. Saat pemakamannya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, "Anda telah mendapat kasih sayang Allah, dan anda telah berhasil menundukan kepalsuan dunia. Semoga Allah senantiasa merahmati anda. Amin." (sh).

Imam Syafii

Riwayat Hidup Imam Syafi’i

Nama dan Keturunan Imam Al-Shafi’i

Nama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin
Al-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf bin
Ma’n bin Kilab bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Al-Nadr bin
Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin
‘Adnan bin Ud bin Udad.

Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd
Manaf. Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.
Penghijrahan ke Palestine

Sebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestine kerana
beberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yang
ditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana.

Kelahiran dan Kehidupannya

Menurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestine pada
tahun 150 Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapanya meninggal
dunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim.
Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.

PENGEMBARAAN IMAM AL-SHAFI’I

Hidup Imam As-Shafi’i (150H – 204H ) merupakan satu siri pengembaraan yang
tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap
pembentukan kriteria ilmiah dan popularitinya.

Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )

Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H),
ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dari
Ghazzah, Palestine ke Kota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya di
sana.

Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar ke
perkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawa
penghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat
mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka dari sumber asalnya yang belum lagi
terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan
sebagainya. Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkan
dengan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau di peringkat
ini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).

Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarah
di samping ilmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepas
pulang dari perkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannya
dengan beberapa mahaguru di Kota Makkah sehingga beliau menjadi terkenal.

Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarik
perhatian seorang mahagurunya iaitu Muslim bin Khalid Al-Zinji yang
mengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi di peringkat
remaja iaitu lima belas tahun.

Al-Shafi’i di Madinah ( 164H – 179H )

Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliau
berdamping dengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalah
Imam Malik wafat pada tahun 179H, iaitu selama lima belas tahun.

Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lain
yang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baik
dan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinah
telah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulamaulama
lain yang terkenal di kota itu.

Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H )

Apabila Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi oleh
Gabenor Yaman. Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orang
Qurasyh Al-Madinah supaya mencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliau
melantiknya menjalankan satu pekerjaan di wilayah Najran.

Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaran
Gabenor wilayah itu pada tahun 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkan
terhadap diri Al-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashid
di Baghdad atas tuduhan Gabenor baru itu yang sering menerima kecaman Al-
Shafi’i kerana kekejaman dan kezalimannya. Tetapi ternyata bahawa beliau tidak
bersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.

Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H )

Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa erti yang amat besar
kepada Al-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad
yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu.

Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-
Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifah
dan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y.

Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imam
ke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliau
berpindah ke Mesir.

Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehingga
tahun 186H. Selama masa ini (184 – 186H) beliau sempat membaca kitab-kitab
Mazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammad
bin Al-Hassan Al-Shaibani, di samping membincanginya di dalam beberapa
perdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.

Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H )

Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasil
usahanya di Yaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidang
pengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruang
langit Makkah membawa satu nafas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukan
Hijazi, dan bukan pula Iraqi dan Yamani, tetapi ia adalah gabungan dari ke
semua aliran itu.

Sejak itu menurut pendapat setengah ulama, lahirlah satu
Mazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali dengan Mazhab Al-Shafi’i.
Selama sembilan tahun (186 – 195H) Al-Shafi’i menghabiskan masanya di kota
suci Makkah bersama-sama para ilmuan lainnya, membahas, mengajar,
mengkaji di samping berusaha untuk melahirkan satu intisari dari beberapa aliran
dan juga persoalan yang sering bertentangan yang beliau temui selama masa
itu.

Al-Shafi’i di Baghdad ( 195H – 197H )

Dalam tahun 195H, untuk kali keduanya Al-Shafi’i berangkat ke kota Baghdad.
Keberangkatannya kali ini tidak lagi sebagai seorang yang tertuduh, tetapi
sebagai seorang alim Makkah yang sudah mempunyai personaliti dan aliran
fiqah yang tersendiri. Catatan perpindahan kali ini menunjukkan bahawa beliau
telah menetap di negara itu selama dua tahun (195 – 197H).

Di dalam masa yang singkat ini beliau berjaya menyebarkan “Method Usuli” yang
berbeza dari apa yang dikenali pada ketika itu. Penyebaran ini sudah tentu
menimbulkan satu respon dan reaksi yang luarbiasa di kalangan para ilmuan
yang kebanyakannya adalah terpengaruh dengan method Mazhab Hanafi yang
disebarkan oleh tokoh utama Mazhab itu, iaitu Muhammad bin Al-Hasan Al-
Shaibani.

Kata Al-Karabisi : “Kami sebelum ini tidak kenal apakah (istilah) Al-Kitab, Al-
Sunnah dan Al-Ijma’, sehinggalah datangnya Al-Shafi’i, beliaulah yang
menerangkan maksud Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’”.
Kata Abu Thaur : “Kata Al-Shafi’i : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyebut (di
dalam kitab-Nya) mengenai sesuatu maksud yang umum tetapi Ia menghendaki
maksudnya yang khas, dan Ia juga telah menyebut sesuatu maksud yang khas
tetapi Ia menghendaki maksudnya yang umum, dan kami (pada ketika itu) belum
lagi mengetahui perkara-perkara itu, lalu kami tanyakan beliau …”

Pada masa itu juga dikatakan beliau telah menulis kitab usulnya yang pertama
atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, dan juga beberapa penulisan lain
dalam bidang fiqah dan lain-lain.

Al-Shafi’i di Makkah dan Mesir ( 197H – 204H )

Sesudah dua tahun berada di Baghdad (197H) beliau kembali ke Makkah. Pada
tahun 198H, beliau keluar semula ke Baghdad dan tinggal di sana hanya
beberapa bulan sahaja. Pada awal tahun 199H, beliau berangkat ke Mesir dan
sampai ke negara itu dalam tahun itu juga. Di negara baru ini beliau menetap
sehingga ke akhir hayatnya pada tahun 204H.

FATWA-FATWA IMAM AL-SHAFI’I

Perpindahan beliau ke Mesir mengakibatkan satu perubahan besar dalam
Mazhabnya. Kesan perubahan ini melibatkan banyak fatwanya semasa beliau di
Baghdad turut sama berubah. Banyak kandungan kitab-kitab fiqahnya yang
beliau hasilkan di Baghdad disemak semula dan diubah.

Dengan ini terdapat dua
fatwa bagi As-Shafi’i, fatwa lama dan fatwa barunya. Fatwa lamanya ialah segala
fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Iraq, fatwa
barunya ialah fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di
Mesir. Kadang-kadang dipanggil fatwa lamanya dengan Mazhabnya yang lama
atau Qaul Qadim dan fatwa barunya dinamakan dengan Mazhab barunya atau
Qaul Jadid.

Di sini harus kita fahami bahawa tidak kesemua fatwa barunya menyalahi fatwa
lamanya dan tidak pula kesemua fatwa lamanya dibatalkannya, malahan ada di
antara fatwa barunya yang menyalahi fatwa lamanya dan ada juga yang
bersamaan dengan yang lama. Kata Imam Al-Nawawi : “Sebenarnya sebab
dikatakan kesemua fatwa lamanya itu ditarik kembali dan tidak diamalkannya
hanyalah berdasarkan kepada ghalibnya sahaja”.

Imam As-Shafi’i pulang ke pangkuan Ilahi pada tahun 204H, tetapi
kepulangannya itu tidaklah mengakibatkan sebarang penjejasan terhadap
perkembangan aliran Fiqhi dan Usuli yang diasaskannya. Malahan asas itu
disebar dan diusaha-kembangkan oleh para sahabatnya yang berada di Al-Hijaz,
Iraq dan Mesir.

PARA SAHABAT IMAM AL-SHAFI’I

Di antara para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal di Al-Hijaz (Makkah dan Al-
Madinah) ialah :-
1. Abu Bakar Al-Hamidi, ‘Abdullah bun Al-Zubair Al-Makki yang wafat pada tahun
219H.
2. Abu Wahid Musa bin ‘Ali Al-Jarud Al-Makki yang banyak menyalin kitab-kitab
Al-Shafi’i. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
3. Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad bin Al-‘Abbasi bin ‘Uthman bin Shafi ‘Al-
Muttalibi yang wafat pada tahun 237H.
4. Abu Bakar Muhammad bin Idris yang tidak diketahui tarikh wafatnya.

Sementara di Iraq pula kita menemui ramai para sahabat Imam Al-Shafi’i yang
terkenal, di antara mereka ialah :-
1. Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab yang keempat. Beliau wafat
pada tahun 241H.
2. Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad Al-Za’farani yang wafat pada tahun 249H.
3. Abu Thaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi yang wafat pada tahun 240H.
4. Al-Harith bin Suraij Al-Naqqal, Abu ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 236H.
5. Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali Al-Karabisi yang wafat pada tahun 245H.
6. Abu ‘Abdul RahmanAhmad bin Yahya Al-Mutakallim. Tidak diketahui tarikh
wafatnya.
7. Abu Zaid ‘Abdul Hamid bin Al-Walid Al-Misri yang wafat pada tahun 211H.
8. Al-Husain Al-Qallas. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
9. ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya Al-Kannani yang wafat pada tahun 240H.
10. ‘Ali bin ‘Abdullah Al-Mudaiyini.

Di Mesir pula terdapat sebilangan tokoh ulama yang kesemua mereka adalah
sahabat Imam Al-Shafi’i, seperti :-
1. Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin ‘Amru bin Ishak Al-Mudhani yang wafat pada
tahun 264H.
2. Abu Muhammad Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi yang wafat pada tahun 270H.
3. Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Misri Al-Buwaiti yang wafat pada tahun 232H.
4. Abu Najib Harmalah bin Yahya Al-Tajibi yang wafat pada tahun 243H.
5. Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Al-Sadaghi yang wafat pada tahun 264H.
6. Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam Al-Misri yang wafat
pada tahun 268H.
7. Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi yang wafat pada tahun 256H.

Dari usaha gigih mereka, Mazhab Al-Shafi’i tersebar dan berkembang luas di
seluruh rantau Islam di zaman-zaman berikutnya.

PERKEMBANGAN MAZHAB IMAM AL-SHAFI’I

Menurut Ibn Al-Subki bahawa Mazhab Al-Shafi’I telah berkembang dan menjalar
pengaruhnya di merata-rata tempat, di kota dan di desa, di seluruh rantau
negara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan kawasan-kawasan
sekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syria, Mesir, Yaman, Hijaz, Iran dan di
negara-negara timur lainnya hingga ke India dan sempadan negara China.

Penyebaran yang sebegini meluas setidak-tidaknya membayangkan kepada kita
sejauh mana kewibawaan peribadi Imam Al-Shafi’i sebagai seorang tokoh ulama
dan keunggulan Mazhabnya sebagai satu-satunya aliran fiqah yang mencabar
aliran zamannya.

IMAM AL-SHAFI’I DAN PENULISANNYA

Permulaan Mazhabnya

Sebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalian
yang rapat dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah
bahawa pwmbentukan Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya dari
kunjungan ke Baghdad pada tahun 186H. Sebelum itu Al-Shafi’i adalah salah
seorang pengikut Imam Malik yang sering mempertahankan pendapatnya dan
juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’ Ahl
Al-Ra’y. Sikapnya yang sebegini meyebabkan beliau terkenal dengan panggilan
“Nasir Al-Hadith”.

Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempat
pengajarannya (halqah) di Masjid Al-Haram. Usaha beliau dalam
memperkembangkan Mazhabnya itu bolehlah dibahagikan kepada 3 peringkat :
1. Peringkat Makkah (186 – 195H)
2. Peringkat Baghdad (195 – 197H)
3. Peringkat Mesir (199 – 204H)

Dalam setiap peringkat diatas beliau mempunyai ramai murid dan para pengikut
yang telah menerima dan menyebar segala pendapat ijtihad dan juga hasil
kajiannya.

Penulisan Pertamanya

Memang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkan
oleh Al-Shafi’i dan di mana dan selanjutnya apakah kitab pertama yang
dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah dan di mana? Kesulitan ini adalah berpunca dari
tidak adanya keterangan yang jelas mengenai kedua-dua perkara tersebut.

Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain dan pulangnya
semula ke tempat awalnya tambah menyulitkan lagi untuk kita menentukan di
tempat mana beliau mulakan usaha penulisannya.

Apa yang kita temui – sesudah kita menyemak beberapa buah kitab lama dan
baru yang menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yang
menunjukkan bahawa kitabnya “Al-Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘Abdul
Rahman bin Mahdi, iaitu sebuah kitab di dalam Ilmu Usul, pun keterangan ini
tidak juga menyebut apakah kitab ini merupakan hasil penulisannya yang
pertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya.

Di samping adanya pertelingkahan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempat
di mana beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yang
mengatakan bahawa beliau menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah dan
ada juga pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya ketika berada di
Iraq.

Kata Ahmad Muhammad Shakir : “Al-Shafi’I telah mengarang beberapa buah
kitab yang jumlahnya agak besar, sebahagiannya beliau sendiri yang
menulisnya, lalu dibacakannya kepada orang ramai. Sebahagiannya pula beliau
merencanakannya sahaja kepada para sahabatnya. Untuk mengira bilangan
kitab-kitabnya itu memanglah sukar kerana sebahagian besarnya telahpun
hilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau berada di
Makkah, di Baghdad dan di Mesir”.

Kalaulah keterangan di atas boleh dipertanggungjawabkan maka dapatlah kita
membuat satu kesimpulan bahawa Al-Shafi’i telah memulakan siri penulisannya
sewaktu beliau di Makkah lagi, dan kemungkinan kitabnya yang pertama yang
dihasilkannya ialah kitab “Al-Risalah”.
Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab Qadim

Di samping “Al-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebut
oleh para ulama sebagai sebuah kitab yang mengandungi fatwa Mazhab
Qadimnya iaitu “Al-Hujjah”. Pun keterangan mengenai kitab ini tidak
menunjukkan bahawa ia adalah kitab pertama yang di tulis di dala bidang Ilmu
Fiqah semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu
jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menghasilkannya sewaktu beliau
berpindah ke negara itu pada kali keduanya, iaitu di antara tahun-tahun 195 –
197H.

Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam Ilmu
Fiqah yang beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau merencanakannya
kepada para sahabatnya di Iraq, antaranya seperti kitab-kitab berikut :-
1. Al-Amali
2. Majma’ al-Kafi
3. ‘Uyun al-Masa’il
4. Al-Bahr al-Muhit
5. Kitab al-Sunan
6. Kitab al-Taharah
7. Kitab al-Solah
8. Kitab al-Zakah
9. Kitab al-Siam
10. Kitab al-Haj
11. Bitab al-I’tikaf
12. Kitab al-Buyu’
13. Kitab al-Rahn
14. Kitab al-Ijarah
15. Kitab al-Nikah
16. Kitab al-Talaq
17. Kitab al-Sadaq
18. Kitab al-Zihar
19. Kitab al-Ila’
20. Kitab al-Li’an
21. Kitab al-Jirahat
22. Kitab al-Hudud
23. Kitab al-Siyar
24. Kitab al-Qadaya
25. Kitab Qital ahl al-Baghyi
26. Kitab al-‘Itq dan lain-lain

Setengah perawi pula telah menyebut bahawa kitab pertama yang dihasilkan
oleh Al-Shafi’i adalah di dalam bentuk jawapan dan perdebatan, iaitu satu
penulisan yang dituju khas kepada fuqaha’ ahl al-Ra’y sebagai menjawab
kecaman-kecaman mereka terhadap Malik dan fuqaha’ Al-Madinah.

Kenyataan mereka ini berdasarkan kepada riwayat Al-Buwaiti : “Kata Al-Shafi’i : Ashab Al-
Hadith (pengikut Imam Malik) telah berhimpun bersama-sama saya. Mereka
telah meminta saya menulis satu jawapan terhadap kitab Abu Hanifah. Saya
menjawab bahawa saya belum lagi mengetahui pendapat mereka, berilah
peluang supaya dapat saya melihat kitab-kitab mereka. Lantas saya meminta
supaya disalinkan kitab-kitab itu.

Lalu disalin kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasan
untuk (bacaan) saya. Saya membacanya selama setahun sehingga saya dapat
menghafazkan kesemuanya. Kemudian barulah saya menulis kitab saya di
Baghdad.

Kalaulah berdasarkan kepada keterangan di atas, maka kita pertama yang
dihasilkan oleh Al-Shafi’i semasa beliau di Iraq ialah sebuah kitab dalam bentuk
jawapan dan perdebatan, dan cara penulisannya adalah sama dengan cara
penulisan ahl al-Ra’y. Ini juga menunjukkan bahawa masa penulisannya itu lebih
awal dari masa penulisan kitab “Al-Risalah”, iaitu di antara tahun-tahun 184 –
186H.

Method Penulisan Kitab-Kitab Qadim

Berhubung dengan method penulisan kitab “Al-Hujjah” dan lain-lain belum dapat
kita pastikan dengan yakin kerana sikap asalnya tida kita temui, kemungkinan
masih lagi ada naskah asalnya dan kemungkinan juga ianya sudah hilang atau
rosak dimakan zaman.

Walaubagaimanapun ia tidak terkeluar – ini hanya satu
kemungkinan sahaja – dari method penulisan zamannya yang dipengaruhi
dengan aliran pertentangan mazhab-mazhab fuqaha’ di dalam beberapa
masalah, umpamanya pertentangan yang berlaku di antara mazhab beliau
dengan Mazhab Hanafi da juga Mazhab Maliki. Keadaan ini dapat kita lihat
dalam penulisan kitab “Al-Um” yang pada asalnya adalah kumpulan dari
beberapa buah kitab Mazhab Qadimnya.

Setiap kitab itu masing-masing
membawa tajuknya yang tersendiri, kemudian kita itu pula dipecahkan kepada
bab-bab kecil yang juga mempunyai tajuk-tajuk yang tersendiri. Di dalam setiap
bab ini dimuatkan dengan segala macam masalah fiqah yang tunduk kepada
tajuk besar iaitu tajuk bagi sesuatu kitab, umpamanya kitab “Al-Taharah”, ia
mengandungi tiga puluh tujuh tajuk bab kecil, kesemua kandungan bab-bab itu
ada kaitannya dengan Kitab “Al-Taharah”.

Perawi Mazhab Qadim

Ramai di antara para sahabatnya di Iraq yang meriwayat fatwa qadimnya, di
antara mereka yang termasyhur hanya empat orang sahaja :
1. Abu Thaur, Ibrahim bin Khalid yang wafat pada tahun 240H.
2. Al-Za’farani, Al-Hasan bin Muhammad bin Sabah yang wafat pada tahun
260H.
3. Al-Karabisi, Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid, Abu ‘Ali yang wafat pada tahun 245H.
4. Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241H.

Menurut Al-Asnawi, Al-Shafi’i adalah ‘ulama’ pertama yang hasil penulisannya
meliputi banyak bab di dalam Ilmu Fiqah.

Perombakan Semula Kitab-kitab Qadim

Perpindahan beliau ke Mesir pada tahun 199H menyebabkan berlakunya satu
rombakan besar terhadap fatwa lamanya. Perombakan ini adalah berpunca dari
penemuan beliau dengan dalil-dalil baru yang belum ditemuinya selama ini, atau
kerana beliau mendapati hadis-hadis yang sahih yang tidak sampai ke
pengetahuannya ketika beliau menulis kitab-kitab qadimnya, atau kerana hadishadis
itu terbukti sahihnya sewaktu beliau berada di Mesir sesudah
kesahihannya selama ini tidak beliau ketahui. Lalu dengan kerana itu beliau telah
menolak sebahagian besar fatwa lamanya dengan berdasarkan kepada
prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah Mazhab
saya”.

Di dalam kitab “Manaqib Al-Shafi’i”, Al-Baihaqi telah menyentuh nama beberapa
buah kitab lama (Mazhab Qadim) yang disemak semula oleh Al-Shafi’i dan
diubah sebahagian fatwanya, di antara kitab-kitab itu ialah :-
1. Al-Risalah
2. Kitab al-Siyam
3. Kitab al-Sadaq
4. Kitab al-Hudud
5. Kitab al-Rahn al-Saghir
6. Kitab al-Ijarah
7. Kitab al-Jana’iz

Menurut Al-Baihaqi lagi Al-shafi’i telah menyuruh supaya dibakar kitab-kitab
lamanya yang mana fatwa ijtihadnya telah diubah.
Catatan Al-Baihaqi itu menunjukkan bahawa Al-Shafi’i melarang para sahabatnya
meriwayat pendapat-pendapat lamanya yang ditolak kepada orang ramai.

Walaupun begitu kita masih menemui pendapat-pendapat itu berkecamuk di
sana-sini di dalam kitab-kitab fuqaha’ mazhabnya samada kitab-kitab yang ditulis
fuqaha’ yang terdahulu atau pun fuqaha’ yang terkemudian. Kemungkinan hal ini
berlaku dengan kerana kitab-kitab lamanya yang diriwayatkan oleh Al-Za’farani,
Al-Karabisi dan lain-lain sudah tersebar dengan luasnya di Iraq dan diketahui
umum, terutamanya di kalangan ulama dan mereka yang menerima pendapatpendapatnya
itu tidak mengetahui larangan beliau itu.

Para fuqaha’ itu bukan sahaja mencatat pendapat-pendapat lamanya di dalam
penulisan mereka, malah menurut Al-Nawawi ada di antara mereka yang berani
mentarjihkan pendapat-pendapat itu apabila mereka mendapatinya disokong
oleh hadis-hadis yang sahih.

Pentarjihan mereka ini tidak pula dianggap menentangi kehendak Al-Shafi’i,
malahan itulah pendapat mazhabnya yang berdasarkan kepada prinsipnya :
“Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah mazhab saya”.

Tetapi apabila sesuatu pendapat lamanya itu tidak disokong oleh hadis yang
sahih kita akan menemui dua sikap di kalangan fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i :-

Pertamanya : Pendapat itu harus dipilih dan digunakan oleh seseorang mujtahid
Mazhab Al-Shafi’i atas dasar ia adalah pendapat Al-Shafi’i yang tidak
dimansuhkan olehnya, kerana seseorang mujtahid (seperti Al-Shafi’i) apabila ia
mengeluarkan pendapat barumya yang bercanggah dengan pendapat lamanya
tidaklah bererti bahawa ia telah menarik pendapat pertamanya, bahkan di dalam
masalah itu dianggap mempunyai dua pendapatnya.

Keduanya : Tidak harus ia memilih pendapat lama itu. Inilah pendapat jumhur
fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i kerana pendapat lama dan baru adalah dua
pendapatnya yang bertentangan yang mustahil dapat diselaraskan keduaduanya.

Kitab-kitab Mazhab Jadid

Di antara kitab-kitab yang beliau hasilkan penulisannya di Mesir atau beliau
merencanakannya kepada para sahabatnya di sana ialah :-
i. Al-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliau
berpeindah ke Mesir.
ii. Beberapa buah kitab di dalam hukum-hukum furu’ yang terkandung di dalam
kitab “Al-Um”, seperti :-
a) Di dalam bab Taharah :
1. Kitab al-Wudu’
2. Kitab al-Tayammum
3. Kitab al-Taharah
4. Kitab Masalah al-Mani
5. Kitab al-Haid

B) Di dalam bab Solah :
6. Kitab Istiqbal al-Qiblah
7. Kitab al-Imamah
8. Kitab al-Jum’ah
9. Kitab Solat al-Khauf
10. Kitab Solat al-‘Aidain
11. Kitab al-Khusuf
12. Kitab al-Istisqa’
13. Kitab Solat al-Tatawu’
14. Al-Hukm fi Tarik al-Solah
15. Kitab al-Jana’iz
16. Kitab Ghasl al-Mayyit

c) Di dalam bab Zakat :
17. Kitab al-Zakah
18. Kitab Zakat Mal al-Yatim
19. Kitab Zakat al-Fitr
20. Kitab Fard al-Zakah
21. Kitab Qasm al-Sadaqat

d) Di dalam bab Siyam (Puasa) :
22. Kitab al-Siyam al-Kabir
23. Kitab Saum al-Tatawu’
24. Kitab al-I’tikaf

e) Di dalam bab Haji :
25. Kitab al-Manasik al-Kabir
26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir
27. Mukhtasar al-Haj al-Saghir

f) Di dalam bab Mu’amalat :
28. Kitab al-Buyu’
29. Kitab al-Sarf
30. Kitab al-Salam
31. Kitab al-Rahn al-Kabir
32. Kitab al-Rahn al-Saghir
33. Kitab al-Taflis
34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Saghir
35. Kitab al-Sulh
36. Kitab al-Istihqaq
37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah
38. Kitab al-Himalah wa al-Wakalah wa al-Sharikah
39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib
40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir
41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi
42. Kitab al-‘Ariah
43. Kitab al-Ghasb
44. Kitab al-Shaf’ah

g) Di dalam bab Ijarat (Sewa-menyewa) :
45. Kitab al-Ijarah
46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah
47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat
48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir
49. Kitab Kara’ al-Ard
50. Kara’ al-Dawab
51. Kitab al-Muzara’ah
52. Kitab al-Musaqah
53. Kitab al-Qirad
54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawat

h) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah) :
55. Kitab al-Mawahib
56. Kitab al-Ahbas
57. Kitab al-‘Umra wa al-Ruqba

i) Di dalam bab Wasaya (Wasiat) :
58. Kitab al-Wasiat li al-Warith
59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq
60. Kitab Taghyir al-Wasiah
61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al-Mayyit
62. Kitab Wasiyat al-Hamil

j) Di dalam bab Faraid dan lain-lain :
63. Kitab al-Mawarith
64. Kitab al-Wadi’ah
65. Kitab al-Luqatah
66. Kitab al-Laqit

k) Di dalam bab Nikah :
67. Kitab al-Ta’rid bi al-Khitbah
68. Kitab Tahrim al-Jam’i
69. Kitab al-Shighar
70. Kitab al-Sadaq
71. Kitab al-Walimah
72. Kitab al-Qism
73. Kitab Ibahat al-Talaq
74. Kitab al-Raj’ah
75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz
76. Kitab al-Ila’
77. Kitab al-Zihar
78. Kitab al-Li’an
79. Kitab al-‘Adad
80. Kitab al-Istibra’
81. Kitab al-Rada’
82. Kitab al-Nafaqat

l) Di dalam bab Jirah (Jenayah) :
83. Kitab Jirah al-‘Amd
84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat
85. Kitab Istidam al-Safinatain
86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin
87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad
88. Khata’ al-Tabib
89. Jinayat al-Mu’allim
90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam
91. Kitab al-Qasamah
92. Saul al-Fuhl

m) Di dalam bab Hudud :
93. Kitab al-Hudud
94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah
95. Qutta’ al-Tariq
96. Sifat al-Nafy
97. Kitab al-Murtad al-Kabir
98. Kitab al-Murtad al-Saghir
99. Al-Hukm fi al-Sahir
100. Kitab Qital ahl al-Baghy

n) Di dalam bab Siar dan Jihad :
101. Kitab al-Jizyah
102. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i
103. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Waqidi
104. Kitab Qital al-Mushrikin
105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul
106. Kitab al-Sabq wa al-Ramy
107. Kitab Qasm al-Fai’ wa al-Ghanimah

o) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan) :
108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab
109. Kitab al-Dahaya al-Kabir
110. Kitab al-Dahaya al-Saghir
111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih
112. Kitab Dhabaih Bani Israil
113. Kitab al-Ashribah

p) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman) :
114. Kitab Adab al-Qadi
115. Kitab al-Shahadat
116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid
117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat
118. Kitab al-Aqdiah
119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur

q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain :
120. Kitab al-‘Itq
121. Kitab al-Qur’ah
122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah
123. Kitab al-Wala’ wa al-Half
124. Kitab al-Wala’ al-Saghir
125. Kitab al-Mudabbir
126. Kitab al-Mukatab
127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad
128. Kitab al-Shurut

Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang disenaraikan oleh al-
Baihaqi sebagai kitab-kitab usul, tetapi ia juga mengandungi hukum-hukum furu’,
seperti :-
1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith
2. Kitab Jima’ al-Ilm
3. Kitab Ibtal al-Istihsan
4. Kitan Ahkam al-Qur’an
5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla
6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy
7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i
8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin
9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan
10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah
11. Kitab Fada’il Quraysh

Ada sebuah lagi kitab al-Shafi’i yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah iaitu “al-
Mabsut”. Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannya
dengan “al-Mukhtasar al-Kabir wa al-Manthurat”, tetapi pada pendapat setengah
ulama kemungkinan ia adalah kitab “al-Um”.