“Boedi” artinya perangai atau tabiat sedangkan “Oetomo” berarti baik atau luhur. Boedi Oetomo yang dimaksud oleh pendirinya adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan atas keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat, kemahirannya.
Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa “kaum tua”-lah yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.
Adapun perintis organisasi yang menjadi tempat perkumpulan orang-orang Jawa ini, menurut sejarawan M.C. Ricklefs (1994), adalah Dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917). Ia adalah seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa di Weltevreden (yang sesudah tahun 1900 dinamakan Stovia). Ia bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun 1899. Pada tahun 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadomilah (Ratna yang berkilauan) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk pembaca kalangan priyayi dan mencerminkan perhatian priyayi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan status mereka. Selain berpendidikan Barat, Wahidin adalah seorang pemain musik Jawa klasik (gamelan) dan wayang yang berbakat. Dia memandang bahwa kebudayaan Jawa dilandasi oleh ilham Hindu-Budha dan rupanya berpendapat bahwa sebagian penyebab kemerosotan masyarakat Jawa adalah kedatangan agama Islam dan berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Belanda.
Dalam kongres pertama Budi Utomo pada bulan Juli 1908 di Yogyakarta, usulan Cipto Mangunkusumo dan Dr. Rajiman Wedyodinigrat agar Budi Utomo dijadikan partai politik dengan beranggotakan masyarakat banyak yang bukan priyayi, ditolak oleh kongres. Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan “priayi” atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Seperti kita ketahui kemudian, pergerakan Budi Utomo memang sengaja menjauhkan diri – di bawah tekanan penjajah – dari aktifitas politik yang dikhawatirkan akan mengganggu kepentingan kolonial di Hindia. Meski kemudian pada tahun 1909 anggota Budi Utomo mencapai 10.000 orang, Cipto Mangunkusumo mengundurkan diri, disusul sebagian tokoh Sunda yang tidak puas dan mendirikan Paguyuban Pasundan di tahun 1913. Pertanyaannya kemudian, apakah layak sebuah pergerakan yang notabene hanya kamuflase dari suatu strategi kolonial dijadikan momentum untuk spirit yang bernama “kebangkitan nasional?”
Mula Hari Kebangkitan Nasional
“Ya, hati saya juga melankolik dalam rangka peringatan 100 tahun ini. Sesungguhnya ada yang perlu kita garisbawahi. Kita itu melaksanakan peringatan baru 60 kali”, Kata Sejarawan Rushdy Hussein, lebih lanjut Pak Rushdy menceritakan latar belakang peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati pertama pada 20 Mei 1948.
“Jadi pada saat itu ada eksponen para elite Indoneisa awal, adalah Ki Hadjar Dewantoro, pendiri Indische Partij dan satu lagi adalah dokter Radjiman. Keduanya itu menghadapi menteri PDK Mr. Ali Sastroamidjojo, membicarakan keterpurukan republik pada tahun 1948. Dan rupa-rupanya hal itu dibawa kepada Bung Karno dan Perdana Menteri Hatta. Lalu mereka mencari acuan supaya bangsa ini bisa termotivasi, mau menyatukan pikiran. Karena republik pada tahun 1948 di pinggir jurang. Seperti telor di ujung tanduk. Dan memang dalam proses kita akan ditiadakan oleh Belanda yang sudah bekerjasama dengan negara-negara bagian, tentunya ya. Kemudian dicarilah dan disepakati bahwa peristiwa lahirnya Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 diangkat sebagai hari kebangunan nasional. Dan proses selanjutnya adalah membentuk panitia, ketuanya adalah Ki Hadjar sendiri dan anggotanya semua partai politik. Dengan harapan partai politik yang lagi bertengkar ini di dalam wadah itu bisa memiliki kesatuan pendapat melawan Belanda.
Misalnya wakil Ki Hadjar adalah Tjoegito, PKI, kemudian dari Masyumi juga, dari PNI, alhasil acara itu diselenggarakan tingkat nasional dan internasional. Di Surakarta itu ada satu monumen, namanya Patung Lilin, Persatuan Partai Politik Indonesia. Kumpulan partai-partai politik. Tugu Lilin itu pada tahun 1933 dilarang oleh Belanda. Nah, tahun 1948 ini menarik, ketika kita dalam situasi yang mencekam, di Solo itu banyak pasukan Hijrah, Siliwangi dan sedikit banyak terjadi konflik juga dengan pasukan yang ada di sana. Itu bisa mengadakan satu pawai bersama. Mengadakan acara-acara pertandingan- pertandingan, ziarah ke makam-makan. Alhasil 20 Mei tahun 1948 itu ada citra barulah, pemikiran-pemikiran baru.
Nah, yang perlu dipertanyakan adalah kenapa Boedi Oetomo. Yang menarik adalah ketika resepsi malam hari, Bung Karno berpidato yang namanya satu machtspolitiek, bagaimana kita menghidupkan semangat politik golongan rakyat untuk melawan Belanda.
Machtspolitiek atau Politik kekuasaan dan tentu bagaimana persatuan. Persatuan kesatuan ini menjadi begitu penting pada saat itu ya. Karena kita tidak memiliki apa-apa kecuali persatuan. Tapi dia menggarisbawahi, andaikata bisa diselenggarakan peringatan kebangkitan nasional ini pada tahun-tahun mendatang, cobalah dievaluasi setiap 10 tahun. Maksudnya tentu, apakah benar mengambil angka 20 Mei itu, artinya lahirnya Boedi Oetomo itu tepat. Itu yang dia mau bicarakan. Dan rupa-rupanya kita lupa, sampai hari ini tetap saja secara tradisional menggunakan istilah itu kan lahirnya Boedi Oetomo. Ini menimbulkan polemik sekarang-sekarang ini. (sejarahkita.blogspot.com)
Kritik Sejarah Atas Berdirinya Boedi Oetomo
Sebuah tesis sejarah yang ditulis Savitri Scherer di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975 yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa indonesia tahun 1985, menggambarkan bahwa Boedi Oetomo pada intinya merupakan gerakan sosial yang mengartikulasikan kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang bersifat lokal. Ini karena adanya disharmoni antara priyayi ningrat (priyayi birokrat) dengan priyayi profesional, khususnya para dokter Jawa. Dalam konteks ini, Schrerer mengungkapkan bahwa priyayi-priyayi Jawa, terutama priyayi birokratis menerima pejabat-pejabat kesehatan dengan rasa permusuhan. Achmad Jayadiningrat, regent Serang mengungkapkan, “…dokter-dokter itu diperlakukan seolah-olah mereka adalah mantri irigasi…” Ia juga mengakui betapa buruknya ia memperlakukan seorang dokter yang datang ke rumahnya untuk menolong istrinya yang sedang sakit (Savitri Prasisiti Scherer, “Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran priyayi nasionalis jawa abad XX”, Terjemahan Jiman S. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985 hlm 46).
Atas hal itu, kemunculan Boedi Oetomo sebenarnya lebih didorong oleh keinginan untuk menolong diri sendiri yang berada dalam posisi rendah dibanding priyayi birokratis. “…Kalau kita tidak menolong diri kita sendiri tidak akan ada orang lain yang menolong kita, dan tolonglah diri kalian sendiri,” demikian Gunawan Mangunkusumo tentang alasan mahasiswa STOVIA mendirikan Boedi Oetomo (Paul W van der veur, ed., Kenang-kenangan Dokter Soetomo, Jakarta: Sinar Harapan, 1984 hlm 22). Dalam konteks yang sama, Scherer mengungkapkan bahwa aspirasi utama perjuangan Boedi Oetomo ialah keserasian di kalangan masyarakat Jawa (Scherer, op.cit. hlm 53). Sewaktu Soewarno diangkat menjadi sekretaris Boedi Oetomo cabang Batavia yang mewakili mahasiswa STOVIA, ia mengeluarkan edaran yang menjelaskan maksud dan tujuan berdirinya Boedi Oetomo. Edaran itu mengemukakan bahwa Boedi Oetomo akan menjadi perintis terciptanya Persatuan Jawa Umum (Algemeene Javaansche Bond).(cidesonline.org)
Selain itu, Firdaus AN memaparkan bahwa dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri” papar KH. Firdaus AN. Karena itu, lanjut Firdaus, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekaan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia, dan Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.
Mengenai hubungan Boedi Oetomo dengan Islam, KH Firdaus AN mengungapkan adanya indikasi kebencian terhadap Islam di kalangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata: “Agama islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”
Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938). Bukan itu saja, dibelakang kelompok Boedi Oetomo pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama Boedi Oetomo yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895. Sekretaris Boedi Oetomo (1916), Boedihardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boedihardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr Th Stevens) – sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.
Berbeda dengan Boedi Oetomo yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura, dan hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura, Sarekat Islam lebih menasional. Keanggotaan Sarekat Islam terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku. Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Sifat menasional Sarekat Islam juga tampak dari penyebarannya yang menyentuh hingga kepelosok-pelosok desa.
Tahun 1916, tercatat 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan tak kurang dari 700.000 orang tercatat sebagai anggotanya. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Sedang Boedi Oetomo pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang.
Adanya faktor Islam inilah yang membuat Sarekat Islam lebih progresif, tidak terbatas pada kelompok tertentu, dan menginginkan adanya kemajuan bagi seluruh rakyat. Salah satu misi pembentukan Sarekat Islam, seperti dirumuskan oleh Tirtoadisuryo ialah:
“Tiap-tiap orang mengetahuilah bahwa masa yang sekarang ini dianggap zaman kemajuan. Haruslah sekarang kita berhaluan: janganlah hendaknya mencari kemajuan itu cuma dengan suara saja. Bagi kita kaum muslimin adalah dipikulkan wajib juga akan turut mencapai tujuan itu, dan oleh karena itu, maka telah kita tetapkanlah mendirikan perhimpunan Sarekat Islam” (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3JS, 1982. Hal 116)
Berdasarkan alasan tersebut, tampak adanya sikap kepeloporan perubahan dan perbaikan bagi seluruh warga negara yang lebih merakyat yang didorong atas keyakinan Islam. Cakupan kegiatan Sarekat Islam yang meliputi seluruh rakyat Indonesia juga tampak dalam tujuan organisasi tersebut yang termaktub dalam anggaran dasarnya: “Akan berikhtiar, supaya anggota-anggotanya satu sama lain bergaul seperti saudara, dan supaya timbullah kerukunan dan tolong menolong satu sama lain antara sekalain kaum muslimin, dan lagi dengan segala upaya yang halal dan tidak menyalahi wet-wet negeri (Surakarta) dan wet-wet Gourvernement, …berikhtiar mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesarannya negeri”.
Organisasi ini berkembang dengan cepat di daerah-daerah lain di Jawa, bahkan organisasi ini menyebar juga ke luar Jawa, seperti di Sumatera Selatan. Tapi keberadaannya dirasakan kurang nyaman oleh penguasa Keresidenan Surakarta, terutama karena adanya tuduhan, bahwa keberadaan Sarekat Islam menimbulkan konflik dengan pedagang-pedagang Cina. Akhirnya Residen Solo membekukan Sarekat Islam. Kemudian pembekuan tadi dicabut kembali dengan syarat adanya perubahan anggaran dasar, sehingga ia hanya terbatas pada daerah Surakarta saja. Namun demikian, sekalipun bersifat lokal secara administratif, tetapi cabang-cabang SI tetap berkembang dengan anggaran dasar masing-masing.
Jelas tampak adanya perbedaan mendasar antara Boedi Oetomo yang hanya berjuang untuk kelompok kecil priyayi di Jawa dengan Sarekat Islam yang berjuang untuk seluruh rakyat. Dengan menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan, tampak pula bahwa SI sesungguhnya merupakan pelopor yang sebenarnya dari sebuah kebangkitan yang bersifat nasional. (eramuslim.com/Rizki Ridyasmara)
Sejarah memang adalah realitas tangan ke dua (second-hand reality). Sebagai realitas tangan kedua, sejarah sangat tergantung siapa yang merumuskan atau menuliskan dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Karena itu, sejarah sesungguhnya sangat bergantung pada lingkup politik yang dominan saat sejarah itu ditulis.
Dari berbagai sumber.
Sumber buku : Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam, Ombak, 2007, hal 21-27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Barangsiapa yang menghormati dan menghargai orang lain maka sebenarnya dia sedang menghormati dan menghargai dirinya sendiri