Minggu, 30 Agustus 2009

Ibnu Atho'illah As sakandari

Kelahiran dan keluarganya

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin,
Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-
Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya
berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani
Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah.

Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana
keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini
demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang
tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia
dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri
Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya
“Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap
Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: "Demi
Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui
jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama,
kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya.

Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-
Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’
memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak
dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa
arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’Sholihin.

Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang
faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt
sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terangterangan
tidak menyukainya.

Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya
adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan
serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy
mengatakan: "Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah)
datang ke sini, tolong beritahu aku", dan ketika aku datang, al-Mursi
mengatakan: "Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat
penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga
gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: " Wahai Muhammad.. kalau
engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka". Dengan bijak
Nabi mengatakan : " Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang
yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka". Begitu juga, kita harus sabar
akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim
fiqih ini”.

Pada akhirnya Ibn Atho' memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar.
Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai
bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi
menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa :

Masa pertama

Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama
seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di
Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya
yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih,
dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: "Dulu aku adalah termasuk orang yang
mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau".
Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka
(ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat
menentangnya”.

Masa kedua

Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu
kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu
al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo.
Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama' tasawwuf. Ketika bertemu dengan
al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung
dari gurunya ini.

Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika
Ibn Atho' mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya
dalam hatinya : "apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang
benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku
merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat
siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia
orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian
halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan
tekun tentang masalah-masalah syara'. Tentang kewajiban, keutamaan dan
sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru
sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia
telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku".

Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin
tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya
dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke
dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan
meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan
keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : "Aku menghadap guruku al-Mursi, dan
dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku
mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan :
"Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah
pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya
tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : "Tuanku… apakah
sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada
tuan?". Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak demikian
itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah
padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga".

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku
beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama
sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia
sendiri yang mengeluarkan mereka". Mendengar uraian panjang lebar semacam
itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan
alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam
hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang
dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah".

Masa ketiga

Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho' dari Iskandariah ke Kairo. Dan
berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H.
Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu
fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah
menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan
makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya
dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan
uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah.

Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah
adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan
selain Allah SWT.

Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang
tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia
sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk
masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada
dalam rumah yang banyak penghuninya.

Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi
penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di
samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia
bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.

Ibnu Hajar berkata: "Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang
menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan
dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka
tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan". Hal
senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : "Ibnu Atho’illah adalah orang yang
sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak
sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan
yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah". Termasuk
tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh.

Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan
tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang
kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.

Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho' meninggalkan banyak karangan
sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah
sampai khitobah.

Karomah Ibn Athoillah

Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal
Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai
pada ayat yang artinya: "Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia...". Tibatiba
terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: "Wahai
Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka". Demi menyaksikan karomah
agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu
Atho’illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu
murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang
thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa
dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang
guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar
teman-temannya menjawab "Tidak". Kurang puas dengan jawaban mereka, dia
menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : "Siapa saja
yang kamu temui ?" lalu si murid menjawab : "Tuanku… saya melihat tuanku di
sana ". Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : "Orang besar itu bisa
memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti
menjawabnya”.

Ibn Atho'illah wafat

Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut
wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam
barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-
Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan
sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini
untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.

Sumber : www.al-hasani.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Barangsiapa yang menghormati dan menghargai orang lain maka sebenarnya dia sedang menghormati dan menghargai dirinya sendiri