Minggu, 30 Agustus 2009

Syaikh Nawawi Al Bantany

Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam
Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan
tokoh ulama klasik madzhab Syafi'i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M).

Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren
tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama
Syekh asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat
memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan.

Di setiap majlis ta'lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai
ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya
sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang
dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah
naungan NU.

Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal
sebagai lama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the Great scholar).
Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan
teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga
pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan
tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak
menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Apabila SYEKHHasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa
dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah
guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini,
seringkali SYEKHHasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang
kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan
air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.

Hidup Syekh Nawawi

Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu'ti
Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih
dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani.
Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815
M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi
menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia
dimakamkan di Ma'la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin
istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di
Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di

Syekh Nawawi Al-Bantani

hari Jum'at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk
memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Syekh Umar, seorang pejabat penghulu yang
memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan
kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin
(Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul 'Arsy). Nasabnya
bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja'far As- Shodiq,
Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen,
Fatimah al-Zahra.

Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah
menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar
ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama
ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke
daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif
cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri.

Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung
mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat
pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang
datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian
ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya
untuk mukim dan menetap di sana.

Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal,
pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib
Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia)
dan SyekhAbdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di
sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini
Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada
Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya
pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut
penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan
perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun
berasal dari Mesir seperti SyekhYusuf Sumbulawini dan SyekhAhmad
Nahrawi.

Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan
meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi
di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai
mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup
memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia
tercatat sebagai Ulama di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya
bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis
banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk
menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari
sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan
kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap
karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab
yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh)
dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit
dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain,
Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya
yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.

Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan
ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih
dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota
penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana
terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat
tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria.
Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa
yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Nawawi bahkan
termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M.

Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A 'yan 'Ulama' al-Qarn aIRa
M' 'Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-
Mudaqqiq, dan Sayyid 'Ulama al-Hijaz.

Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam
mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para
pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk
membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di
beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan
harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar
langsung pada Syekhagar proses pembelajaran dengan Syekhtidak
mengalami kesulitan.

Bidang Teologi

Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya
berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi
bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa
dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab
kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya
karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh
Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak
mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan
pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi
pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara
konprehenshif-utuh.

Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya
sebagai penganut teologi Asy'ari (al-Asyari al-I'tiqodiy). Karya-karyanya
yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid,
Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-
Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su'ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang
teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan
Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh
Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang
muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat
diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya.
Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan
mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan
mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak
melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah
sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi
bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun
dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil
memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di
negeri ini.

Kemudian mengenai dalil naqliy dan 'aqliy, menurutnya harus
digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan
di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban
seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan
terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan
dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan
setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya
dalam benak akal pikirannya.

Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah
(Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy'ary lainnya, Nawawi
menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengahtengah
antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah,
sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui
Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep
jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia
itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia,
manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks
Indonesia sebenamya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan
menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil
mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme
Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.

Sayangnya sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi
Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah
perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu
itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan
teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan
Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi
Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan
sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah.

Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan
bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak
terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi
dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat
menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam "koloni
Jawa".Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi
bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram
hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh
kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada
mereka.

Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi
dikatakan sebagai "obor" mazhab imam Syafi'i untuk konteks
Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat a/-Naja,
Syarh Sullam a/-Taufiq, Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi'in dan
Tasyrih a/a Fathul Qarib,sehingga Syekh Nawawi berhasil
memperkenalkan madzhab Syafi'i secara sempurna Dan, atas dedikasi

Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar
dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil
tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai
daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun
1870 para ulama Universitas alAzhar Mesir pemah mengundangnya
untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah.
Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama Syekh Nawawi
sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di
Mesir.

Sufi Brilian

Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas
intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin
ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik
dengan tasawuf. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi
brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat
dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman,
seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang
dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-
Zulam, Qami' al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi
banyak sekali merujuk kitab Ihya 'Ulumuddin alGazali. Bahkan kitab ini
merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.

Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya
(pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal
Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan
karir dan pengembangan spesialisasi ilmu penegatahuan yg ditekuni
serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda
tarbiyah tasawuf seperti guru2nya. Ketasawufan beliau dapat dilihat
dari pandangannya terhadap keterkaitan antara praktek tarekat,
syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari
keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal,
tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan
yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses
pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari
perjalanan (ibtida'i) seorang sufi, sementara hakikat adalah basil dari
syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh

Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut
tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam,
syariat.

Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan
pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman
yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model
paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan
dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dibedakan dari
karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri,
Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.

Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam
menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan
tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi
pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh
dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai
seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai
kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari
pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu
lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta'alum (berguru) dan
tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat 'alim sedangkan ilmu
batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan
musyahadah sehingga mencapai derajat 'Arif. Seorang Abid diharapkan
tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja
tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.

Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu
lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat
terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha
menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan
tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan
dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).

Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap
moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh
Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat
di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya
dengan "sistem yang durhaka". Permintaan Sayyid Ustman ini
bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam
praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai
penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati
Nawawi menjawab dengan. bahasa yang manis tanpa menyinggung
perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia
memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia
spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan
politik.

Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang
dikembangkan di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam
laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888
M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila
sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak
ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits,
sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut
mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas
dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh
Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan
bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa
mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat 'Ala
Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah
berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.

Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan
dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-
Iembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya
Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina
Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di
Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah
agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum
tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi
Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya
Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah
agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van
Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46
Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat
bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum
Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990
diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di
sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang
banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di
antaranya adalah karya Nawawi.

Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di
Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam
yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga
dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari
dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul
Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari
Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H
Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu
perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H
Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten,
K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H
Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H
Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung
Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang
tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh
ajaran Nawawi.

Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat
dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi
pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain
seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh,
turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang
sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah.

Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka
semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama
yang sangat menentukan wama jaringan intelektual pesantren. Mereka
adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh
Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan
Madura, dan Syekh Hasyim Asy'ari. Tiga tokoh yang pertama
merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.

Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karyakarya
Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari
jasa mereka. K.H. Hasyim Asya'ari, salah seorang murid Nawawi
terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam
memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa.

Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur'an di
setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya'ari lebih cenderung
untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak
sarna sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang
membaca Kitab tafsir a/-Manar karya seorang reformis asal Mesir,
Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu
sinis mencela ulama klasik ia tidak mall mengajarkannya pada santri
dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi
lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh Kholil Bangkalan dengan
pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam
penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim
yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan
nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki
Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.

Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga
turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak
dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi
telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai
tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain.

Peranan Syekhpara pemimpin pondok pesantren dalam
memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di
berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi
keilmuan tradisional Islam. Para Syekhdidikan K.H Hasyim Asyari
memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi
sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi.

Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak
mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren
yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang
selain mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat
pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua
pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu
sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi
lain. Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi
dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini
Nawawi, ibarat alGazali, telah mendamaikan dua kecenderungan
ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan
fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.

Sumber : http://www.al-hasani.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Barangsiapa yang menghormati dan menghargai orang lain maka sebenarnya dia sedang menghormati dan menghargai dirinya sendiri